Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

DPR, Tragedi Affan Kurniawan, dan Gelombang Solidaritas

Pendahuluan

Gelombang demonstrasi besar yang meluas akhir Agustus 2025 tidak lahir tiba-tiba. Tragedi tewasnya Affan Kurniawan, driver ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta, memang menjadi pemicu emosional. Namun akar persoalannya jauh lebih dalam: kekecewaan rakyat terhadap DPR dan elit politik yang dinilai semakin jauh dari realitas kehidupan masyarakat.

DPR dan Ketidakpuasan Rakyat

Keputusan DPR menaikkan tunjangan di tengah kondisi rakyat yang serba sulit menjadi sorotan utama. Publik melihat langkah itu sebagai simbol ketidakpekaan elit terhadap penderitaan warga.

Ketidakpuasan semakin memuncak ketika beberapa anggota DPR mengeluarkan pernyataan yang dianggap merendahkan rakyat, seolah kritik masyarakat hanyalah ocehan yang tidak perlu didengar. Dari sini muncul kesan bahwa DPR lebih sibuk mengurus dirinya sendiri daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.

Lahan Kering Kekecewaan

Rakyat sudah lama hidup dalam tekanan: harga kebutuhan pokok yang naik, lapangan kerja yang sempit, hingga sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak adil. Pekerja gig economy seperti driver ojol juga sering bekerja tanpa jaminan keamanan maupun perlindungan sosial.

Dalam situasi itu, kebijakan DPR terasa seperti menuang bensin ke bara api. Kekecewaan publik menumpuk dan menciptakan kondisi yang siap meledak kapan saja.

Tragedi Affan: Percikan yang Menyalakan Api

Affan Kurniawan bukanlah demonstran. Ia hanya seorang ojol yang sedang bekerja mengantarkan pesanan. Namun, ia justru menjadi korban akibat kendaraan taktis Brimob yang melintas di kawasan demo.

Bagi publik, tragedi Affan adalah simbol nyata ketidakadilan: rakyat kecil yang berjuang mencari nafkah justru tewas di tengah konflik yang bukan ia ciptakan. Kisahnya menembus sekat-sekat kelompok—ojol, mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil merasa bahwa tragedi ini bisa menimpa siapa saja.

Solidaritas yang Meluas

Tak butuh waktu lama, aksi solidaritas merebak di berbagai kota. Komunitas ojol, mahasiswa, buruh, hingga warga sipil turun ke jalan. Tuntutan yang muncul pun berkembang:

  • Keadilan untuk Affan, proses hukum yang transparan.

  • Penghentian kekerasan aparat dalam menangani aksi massa.

  • Reformasi DPR, baik dari sisi kebijakan maupun sikap empati terhadap rakyat.

Gelombang protes ini bukan lagi sekadar soal ketenagakerjaan, melainkan juga soal moralitas politik dan legitimasi wakil rakyat.

Rantai Sebab-Akibat (Causal Chain)

Untuk memahami akar masalah, rantai sebab-akibatnya bisa digambarkan sebagai berikut:

  1. DPR menaikkan tunjangan dan mengeluarkan ucapan merendahkan rakyat

  2. Rakyat makin kecewa di tengah kesulitan ekonomi

  3. Tragedi Affan Kurniawan jadi pemicu emosional

  4. Solidaritas meluas: ojol, mahasiswa, buruh, warga sipil

  5. Aksi nasional dengan tuntutan keadilan dan reformasi politik


Jalan Keluar: Apa yang Harus Dilakukan?

Demonstrasi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi DPR dan pemerintah. Agar tidak terulang, beberapa langkah penting bisa ditempuh:

  1. Transparansi hukum – proses penyelidikan tragedi Affan harus terbuka dan adil.

  2. Reformasi DPR – hentikan kebijakan elitis, bangun komunikasi yang lebih empatik.

  3. Perlindungan pekerja rentan – khususnya ojol dan pekerja gig economy, dengan jaminan sosial dan perlindungan kerja.

  4. Evaluasi pengamanan aksi – aparat perlu mengedepankan pendekatan dialogis, bukan represif.

  5. Dialog sosial yang inklusif – pemerintah dan DPR wajib membuka ruang dialog dengan masyarakat agar kepercayaan publik dapat dipulihkan.


Penutup

Tragedi Affan Kurniawan telah menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam satu suara: rakyat menuntut keadilan, empati, dan keberpihakan dari negara. Aksi solidaritas ini adalah tanda bahwa ketidakadilan sosial dan jarak politik sudah mencapai titik rawan.

Jika DPR dan pemerintah tidak segera merespons dengan langkah konkret, bukan tidak mungkin kemarahan rakyat akan terus berulang—menjadi gelombang yang lebih besar di masa depan.

Share:

Tertindas dan Dilindas

Tanggal 28 Agustus 2025 menjadi salah satu catatan kelam lagi dalam sejarah demokrasi Indonesia. Di tengah hiruk pikuk demonstrasi di sekitar DPR, sebuah insiden memilukan merenggut nyawa Affan Kurniawan, seorang anak muda berusia 21 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai driver ojek online. Ia bukan orator di panggung aksi, bukan pula provokator kerusuhan. Ia hanya sedang menjemput rezeki untuk keluarganya. Namun, takdir tragis mempertemukannya dengan kendaraan taktis Brimob yang melindas tubuhnya hingga meregang nyawa.

Ironi itu mengguncang nurani publik. Betapa tidak, seorang rakyat kecil yang sudah lama tertindas oleh kerasnya hidup di kota besar, justru dilindas oleh institusi negara yang seharusnya melindungi. Peristiwa ini melahirkan pertanyaan mendasar: masihkah aparat bersenjata benar-benar hadir sebagai pengayom rakyat, ataukah berubah menjadi kekuatan yang menakutkan rakyatnya sendiri?

Insiden Affan tidak bisa hanya dilihat sebagai kecelakaan lalu lintas biasa. Ia merupakan potret relasi kuasa yang timpang antara rakyat dan negara. Di satu sisi, negara kerap menuntut kesetiaan, kepatuhan, bahkan pengorbanan warganya. Namun di sisi lain, jaminan perlindungan dan penghargaan atas martabat manusia masih sering terabaikan. Kematian Affan adalah alarm keras bahwa kita sedang berada di tepi jurang krisis kemanusiaan.

Respon cepat kepolisian dan permintaan maaf dari Kapolri maupun Kapolda Metro Jaya patut diapresiasi. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Tuntutan publik jelas: transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Tidak boleh ada pembiaran, tidak boleh ada impunitas. Setiap nyawa yang hilang harus dipertanggungjawabkan, bukan sekadar dijawab dengan ucapan belasungkawa.

Dari sisi sosial, peristiwa ini menyulut solidaritas. Warganet, mahasiswa, hingga masyarakat sipil bersatu menyuarakan kemarahan. Mereka bukan hanya menuntut keadilan bagi Affan, melainkan juga memperjuangkan hak setiap warga untuk merasa aman di negeri sendiri. Affan kini menjadi simbol: simbol perlawanan rakyat kecil terhadap arogansi kekuasaan, simbol jeritan kaum tertindas yang selama ini hanya menjadi angka dalam statistik, namun kini menjadi wajah nyata dari korban ketidakadilan.

Kita mungkin tidak mengenal Affan secara pribadi. Namun, kisahnya menyentuh hati karena ia mewakili jutaan anak muda yang berjuang di jalanan, menantang panas, hujan, dan bahaya demi sesuap nasi. Ketika negara gagal melindungi mereka, maka kita semua harus bertanya: untuk siapa sebenarnya kekuasaan dijalankan?

Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa setiap tragedi selalu melahirkan kesadaran baru. Semoga kematian Affan tidak berhenti sebagai headline berita atau sekadar trending di media sosial. Semoga ia menjadi pengingat bahwa demokrasi tanpa kemanusiaan hanyalah topeng kosong, dan keamanan tanpa perlindungan rakyat hanyalah represi.

Affan mungkin sudah tiada. Namun, namanya akan selalu dikenang sebagai simbol keberanian rakyat kecil menghadapi kerasnya hidup—hingga akhirnya ia tertindas oleh keadaan, dan tragisnya, benar-benar dilindas oleh roda kekuasaan.

Share:

Ketika Demokrasi Tergelincir: Dari Harapan Rakyat Menuju Kepentingan Elite

Indonesia dibangun di atas cita-cita luhur: kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Itulah janji demokrasi—memberi rakyat hak menentukan arah bangsa dan menuntut pemimpin menjadi pelayan publik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering tergelincir menjadi arena perebutan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Hari ini, banyak rakyat menyaksikan fenomena yang mirip dengan kleptokrasi: pemerintahan yang dikuasai oleh mereka yang lebih sibuk memperkaya diri sendiri daripada mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang seharusnya berorientasi pada pemerataan dan keadilan sosial justru condong kepada kepentingan segelintir elite—demokrasi menjadi panggung transaksional, di mana suara rakyat ditukar dengan janji-janji politik yang mudah dilupakan.

Fenomena ini tidak lagi sekadar teori. Kasus-kasus nyata telah menegaskan bagaimana pejabat publik di Indonesia menyalahgunakan wewenangnya. Misalnya, pada tahun 2025 mencuat dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi senilai hampir Rp 9,9 triliun. Padahal, uji coba sebelumnya telah menunjukkan bahwa perangkat tersebut tidak efektif digunakan di lapangan. Skandal serupa juga mengguncang sektor energi, ketika Pertamina dituduh menyalahgunakan subsidi bahan bakar antara Pertalite dan Pertamax, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. Kedua kasus ini menggambarkan bagaimana kebijakan publik kerap dijadikan ladang bancakan daripada instrumen untuk menyejahterakan rakyat (Wikipedia, 2025, & Wikipedia, 2025).

Di tingkat daerah, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), antara 2010 hingga 2015 setidaknya 183 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Angka tersebut menunjukkan bahwa korupsi di kalangan elite birokrasi bukan hanya persoalan individu, melainkan telah menjadi budaya yang membahayakan demokrasi. Bahkan, Wakil Ketua KPK periode 2011–2015, Busyro Muqoddas, pernah memperingatkan bahwa jika praktik ini terus berlanjut, Indonesia berpotensi bergeser dari demokrasi menuju kleptokrasi—sebuah sistem di mana pejabat publik lebih sibuk mencuri daripada melayani rakyat (ICW, 2015, & Liputan6, 2013).

Di saat rakyat merasakan kian beratnya hidup—harga barang naik, lapangan kerja langka, pelayanan publik tertinggal—beberapa pejabat justru menerima tambahan pendapatan signifikan dari pos tunjangan. Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan bahwa total penerimaan bersih anggota DPR kini mencapai Rp 69–70 juta per bulan, naik dari sebelumnya sekitar Rp 58 juta. Tidak ada kenaikan gaji pokok—yang tetap stabil selama belasan tahun—namun tunjangan, terutama tunjangan perumahan, dinaikkan tajam YouTubetirto.idRadar Jombang.

Salah satu poin yang mencuri perhatian publik adalah tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan, sebagai pengganti rumah dinas yang tidak lagi diberikan sejak Oktober 2024. Menurut penjelasan, tunjangan ini wajar mengingat kondisi rumah dinas yang sudah tidak ekonomis dan penyesuaian dengan harga sewa di sekitar Senayan—Jakarta Pusat tirto.iddetiknewsRadar Jombang.

Meski demikian, detail mengenai tunjangan lain sempat menimbulkan kontroversi. Pernyataan Adies bahwa tunjangan beras naik dari Rp 10 juta ke Rp 12 juta, dan tunjangan bensin naik dari Rp 4–5 juta ke sekitar Rp 7 juta, sempat meresahkan publik. Namun kemudian ia meluruskan bahwa data tersebut keliru—sebelumnya disebut, tunjangan beras hanya sekitar Rp 200 ribu per bulan dan tidak berubah sejak 2010, maupun tunjangan bensin tetap di kisaran Rp 3 juta kumparankontan.co.id.

Kenaikan tunjangan perumahan serta sejumlah data yang simpang siur mempertegas jarak antara harapan rakyat dan realitas elit. Ketika fuji pengabdian publik tergeser oleh kalkulasi tunjangan, rakyat menatap jauh ke depan dengan frustrasi—sedangkan kebijakan semestinya mengutamakan kesejahteraan kolektif, bukan keuntungan individu.

Namun, harapan belum padam. Sejarah membuktikan, ketika rakyat menyadari kekuatannya, perubahan bisa terjadi. Demokrasi harus direbut kembali dari tangan segelintir elite menuju kembali ke pangkuan rakyat. Caranya bukan dengan mobokrasi—pemerintahan oleh kerumunan tanpa aturan—tetapi melalui kesadaran politik, partisipasi yang cerdas, dan penguatan lembaga hukum yang berintegritas.

Sebagaimana Abraham Lincoln pernah menegaskan, “Democracy is government of the people, by the people, for the people.” Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati tidak boleh melenceng dari hakikatnya: kekuasaan adalah milik rakyat, bukan segelintir elite yang rakus.

Soekarno juga mengingatkan kita dalam pidatonya, “Politik tidak boleh berdiri di atas kaki yang materialistis, tetapi harus berakar pada moral dan keadilan.” Pesan itu terasa semakin relevan hari ini, ketika politik kerap ditukar dengan uang dan kekuasaan, jauh dari semangat pengabdian.

Selain itu, Nelson Mandela pernah berkata, “Kepemimpinan sejati tidak dinilai dari seberapa besar kekuasaan yang kau genggam, melainkan dari seberapa besar pengaruhmu untuk melayani rakyatmu.” Inilah ukuran sejati pemimpin bangsa: bukan berapa banyak kekayaan yang terkumpul, melainkan seberapa luas jejak kesejahteraan yang ia tinggalkan.

Indonesia membutuhkan pejabat yang menempatkan diri sebagai pelayan, bukan penguasa. Dibutuhkan sistem yang menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta rakyat yang kritis sekaligus berani menagih janji. Demokrasi sejati bukanlah sekadar prosedur pemilu lima tahunan, melainkan keberpihakan nyata pada kesejahteraan rakyat.

Jika hal ini tidak segera dibenahi, demokrasi hanya akan menjadi nama indah tanpa jiwa, sekadar topeng yang menutupi wajah oligarki. Namun, jika rakyat bersatu, sadar, dan terus berjuang, masih ada harapan bahwa cita-cita awal bangsa ini—keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—bukan sekadar utopia, melainkan kenyataan.


Daftar Pustaka

  • Lincoln, A. (1863). The Gettysburg Address.
  • Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom. Little, Brown and Company.
  • Soekarno. (1961). Pidato Lahirnya Manipol USDEK.
  • Wikipedia. (2025). Chromebook procurement scandal (Indonesia).
  • Wikipedia. (2025). 2025 Pertamina corruption case.
  • Wikipedia. (2025). Sunjaya Purwadisastra.
  • Wikipedia. (2025). Ade Yasin.
  • ICW. (2015). Budaya Kleptokrasi Kepala Daerah. antikorupsi.org.
  • iNews, (2025, 20 Agustus). Pimpinan DPR Luruskan Isu Kenaikan Gaji Anggota hingga Tunjangan Perumahan.
  • Tirto.id, (2025). Adies Kadir Anggap Tunjangan DPR Naik karena Dikasihani Menkeu.
  • Radar Jombang / JwaPos, (2025). Makin Sejahtera! Tunjangan Anggota DPR 2025 Naik, Segini Nomimalnya Per Bulan.
  • Detik.com, (2025). Pimpinan DPR: Tak Ada Kenaikan Gaji Anggota, Hanya Tunjangan Perumahan.
  • TVOne, (2025). Penyebab Tunjangan Beras Anggota DPR Naik Jadi Rp12 Juta Per Bulan: Harga Naik.
  • Detik.com, (2025). Klarifikasi Kenaikan Tunjangan DPR, Adies Kadir: Ini Data Terbarunya.
Share:

Tan Malaka: Pemikir yang Gugur di Negeri yang Diperjuangkannya

Awal dari Sebuah Perjalanan

Di Pandan Gadang, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi salah satu pemikir paling berani dan visioner di tanah air: Tan Malaka. Latar Minangkabau yang kental dengan tradisi berdiskusi dan merantau membentuk kepribadiannya sejak dini.

Ia menempuh pendidikan di Kweekschool Bukittinggi, lalu mendapat kesempatan belajar di Rijkskweekschool Haarlem, Belanda. Di negeri itu, ia menyadari bahwa pendidikan sejati bukanlah soal menghafal, melainkan memahami. “Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin,” kelak ia tulis dalam karya monumentalnya, Madilog.

Madilog: Senjata yang Tak Bisa Dirampas

Pada masa pendudukan Jepang, ketika senjata api sulit didapat, Tan Malaka justru mengasah senjata yang tak bisa dirampas: akal budi. Ia menulis Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, Logika—sebuah panduan berpikir rasional untuk membebaskan bangsa dari takhayul dan pola pikir feodal.

“Ingatlah! … disinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya Logika.” (Madilog)

Bagi Tan Malaka, kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari hilangnya kekuasaan kolonial, tetapi dari bebasnya pikiran bangsa.

Pejuang Kemerdekaan Seratus Persen

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan, sebuah aliansi politik yang menuntut kemerdekaan seratus persen tanpa kompromi dengan Belanda. Sikapnya tegas, bahkan berseberangan dengan strategi diplomasi yang ditempuh pemerintah kala itu.

Perbedaan pandangan inilah yang membuatnya berulang kali dicurigai, dipenjara, bahkan dibungkam. Namun ia tak pernah menyerah. Ia tetap bergerilya di medan Jawa Timur, memimpin rakyat yang percaya padanya.

Surat Terakhir: Harapan di Tengah Badai

Dalam sebuah surat bertanggal 5 Januari 1921 kepada sahabatnya, Dick Van Wijngaarden, Tan Malaka menulis:

“Pada saat kau terima surat ini, mungkin sekali aku sudah lama ada di Medan atau Jawa… Aku mencoba akan menjadi manusia yang patut hidup pada zaman ini.”

Kata-kata ini memancarkan kerendahan hati seorang pejuang, yang meskipun diburu, tetap menatap masa depan bangsanya.

Eksekusi dalam Sunyi

Februari 1949, di tengah kekacauan Agresi Militer Belanda II, Tan Malaka ditangkap di Selopanggung, Kediri, oleh Batalion Sikatan. Tidak ada pengadilan, tidak ada pembelaan. Saksi mata mengisahkan ia dieksekusi pada 21 Februari 1949 dan jasadnya dikuburkan di sebuah hutan sunyi.

Ironisnya, Tan Malaka gugur bukan di tangan penjajah, tetapi di tangan bangsanya sendiri—di negeri yang ia cintai dan perjuangkan seumur hidupnya.

Suara yang Tak Pernah Padam

Dalam otobiografinya, ia pernah menulis:

“Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.”

Kini, 80 tahun setelah proklamasi, suara itu masih terdengar. Ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya berani mengangkat senjata, tetapi juga berani berpikir melawan arus. Ia mengingatkan kita bahwa pendidikan harus memerdekakan pikiran, dan kepemimpinan harus berpijak pada logika, fakta, dan moralitas.

Epilog

Tan Malaka telah diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1963, tetapi pengakuan itu belum cukup untuk menebus sunyi yang melingkupi akhir hidupnya. Mengingat Tan Malaka pada peringatan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya soal mengangkat namanya dari kubur sejarah, tetapi juga memastikan bahwa gagasannya tetap menjadi kompas moral bangsa.

Karena pada akhirnya, seperti yang ia yakini, peluru hanya bisa membungkam tubuh—bukan pikiran.

Daftar Pustaka

  1. Malaka, Tan. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. Archive Marxists. [Pendahuluan & Bab II dan V]

  2. Surat Tan Malaka kepada Dick Van Wijngaarden, 5 Januari 1921. Historia.ID

  3. Ensiklopedia Kemdikbud. “Materialisme Dialektika dan Logika (MADILOG)”

  4. “Tahun Terakhir Tan Malaka.” Historia.ID

  5. Wikipedia. “Tan Malaka”

Share:

Menghubungkan Pengalaman dan Pemahaman: Penerapan Transfer Learning dalam Pembelajaran Pendidikan Pancasila SMP Kelas IX

Pendahuluan

Pendidikan Pancasila di jenjang SMP tidak hanya bertujuan menanamkan pengetahuan tentang dasar negara, tetapi juga menumbuhkan sikap dan keterampilan yang merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai hal ini, guru memerlukan pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa mengaitkan pengalaman nyata mereka dengan konsep-konsep baru yang dipelajari di kelas. Salah satu pendekatan yang efektif adalah Transfer Learning.

Apa itu Transfer Learning dalam Pendidikan?

Secara umum, transfer learning dalam pendidikan adalah proses memindahkan pengetahuan, keterampilan, atau konsep yang telah dipelajari siswa dalam suatu konteks ke situasi atau permasalahan baru. Tujuannya adalah agar pembelajaran tidak terputus antar topik, tetapi saling berkaitan dan bermanfaat dalam kehidupan nyata.

Dalam praktiknya, transfer learning bisa berbentuk:

  1. Transfer positif – Pengetahuan lama membantu memahami topik baru.

  2. Transfer negatif – Pengetahuan lama justru menghambat pemahaman baru.

  3. Transfer lateral – Penerapan pengetahuan pada konteks dengan tingkat kompleksitas setara.

  4. Transfer vertikal – Penerapan pengetahuan sebagai fondasi bagi konsep yang lebih kompleks.

Contoh Penerapan Transfer Learning pada Pendidikan Pancasila Kelas IX

Topik: Semangat Pancasila dalam Kehidupan Bernegara
Pengalaman yang Ditransfer: Kegiatan OSIS, pramuka, kerja bakti, atau bakti sosial di lingkungan sekolah dan rumah.

Langkah Penerapan:

  1. Aktivasi Pengetahuan Awal
    Guru mengajak siswa menceritakan pengalaman gotong royong atau kegiatan organisasi di sekolah.
    Pertanyaan pemantik: “Apa aturan yang kalian patuhi? Bagaimana kalian menyelesaikan perbedaan pendapat?”

  2. Menghubungkan dengan Konsep Baru
    Guru menunjukkan kesamaan antara nilai kerja sama di sekolah dengan prinsip Persatuan Indonesia dalam Pancasila.

  3. Analogi Sistem
    Aturan panitia kegiatan dianalogikan dengan UUD 1945 sebagai landasan hukum negara.

  4. Aplikasi pada Isu Aktual
    Siswa menganalisis kasus toleransi antarumat beragama di Indonesia, menggunakan pengalaman kerja sama di sekolah sebagai titik berangkat.

  5. Refleksi
    Siswa menulis esai singkat: “Jika kita bisa menjaga persatuan di sekolah, bagaimana kita melakukannya di tingkat negara?”

Hasil yang Diharapkan:

  • Kognitif: Pemahaman bahwa Pancasila bukan sekadar teori, tetapi pedoman hidup yang sudah mereka praktikkan.

  • Afektif: Tumbuhnya rasa memiliki dan kebanggaan terhadap nilai-nilai Pancasila.

  • Psikomotor: Keterampilan musyawarah, gotong royong, dan menyelesaikan konflik secara damai.

Perbandingan Transfer Learning dan Deep Learning dalam Pendidikan Pancasila

AspekTransfer LearningDeep Learning
FokusMengaitkan pengetahuan lama dengan konteks baruMenggali topik secara mendalam dan menyeluruh
Titik AwalPengetahuan atau pengalaman siswa yang sudah adaEksplorasi topik dari berbagai sudut pandang
HasilSiswa mampu menerapkan pengetahuan pada situasi baruSiswa memiliki pemahaman konseptual yang kokoh dan terintegrasi
ContohMenghubungkan pengalaman gotong royong dengan nilai Persatuan IndonesiaMenganalisis keterkaitan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI secara kritis

Memadukan Transfer Learning dan Deep Learning dalam Pembelajaran Pancasila

Penerapan Transfer Learning tidak harus berdiri sendiri; ia dapat dipadukan dengan pendekatan Deep Learning (pembelajaran mendalam) untuk hasil yang lebih optimal. Strateginya adalah:

  1. Mulai dengan Transfer Learning
    Gunakan pengalaman nyata siswa sebagai pintu masuk untuk membangun keterhubungan emosional dan kognitif.

  2. Lanjutkan dengan Deep Learning
    Setelah keterhubungan terbangun, ajak siswa menggali topik secara mendalam melalui diskusi kritis, studi kasus, dan proyek berbasis masalah.

  3. Integrasikan Lintas Disiplin
    Misalnya, ketika membahas demokrasi dalam Pancasila, libatkan konsep dari IPS (sejarah demokrasi) dan Bahasa Indonesia (keterampilan berargumentasi).

  4. Akhiri dengan Refleksi dan Produk Nyata
    Siswa membuat proyek kampanye digital bertema “Semangat Pancasila di Era Modern” sebagai hasil sintesis dari pengalaman lama dan pemahaman mendalam.

Penutup

Pendekatan Transfer Learning dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila memungkinkan siswa menghubungkan teori dengan praktik nyata yang mereka alami. Saat dipadukan dengan Deep Learning, pembelajaran menjadi tidak hanya relevan tetapi juga mendalam, membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, dan berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi guru, kombinasi ini adalah strategi yang efektif untuk menjadikan Pendidikan Pancasila lebih bermakna, kontekstual, dan berdampak jangka panjang.

Share:

Kebebasan yang Dibungkam: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

Delapan puluh tahun sudah bendera merah putih berkibar di langit Nusantara. Delapan puluh tahun pula Indonesia meneguhkan diri sebagai negara merdeka, berdaulat, dan berlandaskan Pancasila. Namun, di balik perayaan penuh gegap gempita, terbersit satu pertanyaan yang menggelitik nurani: apakah kebebasan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pendiri bangsa itu benar-benar telah kita jaga, atau justru perlahan kita bungkam sendiri?

Kemerdekaan: Anugerah yang Diperjuangkan, Bukan Diberikan

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukanlah hadiah dari penjajah, melainkan hasil perjuangan panjang para pahlawan yang mengorbankan nyawa. Mereka memahami bahwa kebebasan bukan sekadar lepas dari rantai fisik, tetapi juga pembebasan jiwa dari rasa takut, penindasan, dan ketidakadilan. Sayangnya, di usia yang ke-80 ini, kebebasan itu terkadang terancam bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh sesama anak bangsa sendiri.

Kebebasan yang Perlahan Dibatasi

Kebebasan berbicara, berpendapat, dan berekspresi adalah hak konstitusional. Namun, realitas sering kali menunjukkan sisi lain: kritik dibalas hujatan, pendapat dibungkam dengan stigma, dan suara minoritas tenggelam oleh arus mayoritas. Ironisnya, pembungkaman ini kerap dibungkus rapi dengan dalih menjaga ketertiban, padahal justru mengekang daya kritis dan keberagaman berpikir yang menjadi denyut nadi demokrasi.

Ancaman dari Dalam: Otoritarianisme yang Berubah Wajah

Jika dahulu penjajahan datang dengan seragam militer asing, kini ancamannya lebih halus dan berwajah lokal. Bentuknya bisa berupa korupsi yang menggerogoti kepercayaan publik, monopoli informasi yang memelintir fakta, atau regulasi yang disusun demi kepentingan segelintir pihak. Semua itu secara perlahan meredam kebebasan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Namun, kebebasan tidak berarti kebebasan tanpa batas. Seperti layaknya udara yang kita hirup, kebebasan harus dijaga kemurniannya. Ia tidak boleh tercemar oleh ujaran kebencian, fitnah, atau hasutan yang merusak persatuan. Oleh karena itu, kebebasan harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab moral, kesadaran hukum, dan etika kebangsaan.

Refleksi di Usia ke-80

Tahun 2025 ini, ketika kita merayakan 80 tahun kemerdekaan, seharusnya kita bertanya: sudahkah kita merdeka sepenuhnya? Atau, jangan-jangan kita masih terjebak dalam penjara yang kita ciptakan sendiri—penjara yang dibangun dari intoleransi, ketidakadilan, dan ketakutan untuk bersuara?
Kebebasan yang dibungkam bukan hanya tragedi politik, melainkan juga tragedi peradaban. Ia menandakan bahwa kita melupakan esensi kemerdekaan: memberi ruang bagi semua warga negara untuk hidup setara, bermartabat, dan bebas mengungkapkan pikirannya.

Menjaga Api Kemerdekaan

Refleksi ini mengajak kita untuk kembali kepada cita-cita luhur para pendiri bangsa: “Merdeka dalam pikiran, merdeka dalam hati, merdeka dalam bertindak demi kebaikan bersama.” Menjaga kebebasan berarti berani melawan ketidakadilan, sekaligus bijak dalam menggunakan hak yang kita miliki.
Jika kita gagal melakukannya, maka 80 tahun kemerdekaan hanyalah angka, sementara ruh kemerdekaan itu sendiri telah lama mati.

Penutup:
Kebebasan yang Dibungkam adalah peringatan bahwa kemerdekaan bukanlah pencapaian akhir, melainkan perjalanan panjang yang harus terus dijaga. Indonesia akan benar-benar merdeka ketika setiap warganya bebas menyuarakan kebenaran, berpikir kritis, dan hidup tanpa rasa takut, karena di situlah arti sesungguhnya dari kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Share:

Negeri Merdeka, Katanya

Delapan puluh tahun lalu, sebuah proklamasi dibacakan. Dua kalimat sederhana yang menggetarkan hati, disiarkan ke seantero negeri melalui mikrofon sederhana di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur. Kalimat itu tidak hanya memutus rantai penjajahan, tetapi juga mengikat jutaan jiwa pada satu janji: Indonesia merdeka, berdiri di atas kaki sendiri, berdaulat dalam menentukan nasibnya.

Bulan ini, 17 Agustus 2025, kita kembali mengibarkan bendera Merah Putih. Tiang-tiang bendera di halaman sekolah, lapangan desa, hingga gedung pencakar langit berdiri tegak, membawa pesan kebanggaan. Namun di sela-sela dentuman drum marching band, pekikan “Merdeka!”, dan hiruk pikuk lomba tujuh belasan, ada sebuah pertanyaan yang berbisik di hati: Apakah kita benar-benar merdeka?

Kemerdekaan yang Diperjuangkan dan Kemerdekaan yang Dijalani

Generasi 1945 memaknai merdeka sebagai bebas dari kekuasaan asing, bebas dari penindasan kolonial, dan berdiri sebagai bangsa yang berdaulat. Mereka mempertaruhkan nyawa, meninggalkan keluarga, mengorbankan masa depan demi satu cita-cita.

Generasi kini mewarisi kemerdekaan itu tanpa harus merasakan deru peluru atau bau mesiu. Kita lahir di tanah yang sudah diakui dunia, di negeri yang memiliki lagu kebangsaan, bendera, dan konstitusi sendiri. Tapi ironisnya, di tengah kemudahan teknologi dan kebebasan berpendapat, kita terkadang terjebak dalam bentuk penjajahan yang lebih halus—penjajahan pikiran, budaya konsumtif, dan ketergantungan pada pihak luar dalam berbagai aspek kehidupan.

Merdeka di Atas Kertas, Terjajah di Lapangan

Negeri merdeka, katanya.
Kita memiliki hak untuk bersuara, namun tak jarang suara dibungkam oleh ujaran kebencian atau intimidasi sosial. Kita memiliki sumber daya alam melimpah, namun masih banyak anak negeri yang kesulitan mengakses pendidikan dan layanan kesehatan layak. Kita bangga akan keindahan bumi pertiwi, tapi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan menjadi warisan pahit bagi generasi mendatang.

Merdeka bukan sekadar bendera berkibar setiap Agustus, tetapi kemampuan sebuah bangsa untuk menentukan jalan hidupnya tanpa intervensi yang merugikan. Jika harga beras, teknologi strategis, bahkan informasi publik masih ditentukan oleh kepentingan luar, maka kemerdekaan itu belum sepenuhnya utuh.

Merdeka yang Membebaskan Semua Warganya

Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak, ketika hukum berdiri tegak tanpa pandang bulu, ketika perbedaan bukan alasan untuk saling membenci. Delapan puluh tahun kemerdekaan harusnya menjadi titik di mana kita tidak lagi sibuk memperdebatkan siapa yang paling “pantas” disebut patriot, melainkan bersama-sama membangun negeri tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.

Refleksi untuk Generasi Penerus

80 tahun bukan usia muda bagi sebuah bangsa. Banyak negara yang usianya lebih muda dari kita, tetapi telah melesat menjadi kekuatan besar. Refleksi ini bukan untuk menyesali perjalanan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah abadi yang terjamin selamanya. Ia adalah tugas yang harus dipelihara, dijaga, dan diperjuangkan setiap hari.

Negeri merdeka, katanya — kalimat ini seharusnya bukan nada sarkasme, tetapi sebuah pengingat bahwa kata “katanya” itu harus dihapus melalui tindakan nyata. Saatnya kita memastikan bahwa ketika anak cucu kita memperingati seratus tahun kemerdekaan, mereka tidak lagi mempertanyakan makna kata “merdeka,” karena mereka benar-benar merasakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup

Kemerdekaan adalah amanah. Ia bukan sekadar simbol atau seremoni tahunan. Delapan puluh tahun perjalanan bangsa ini adalah undangan bagi kita semua untuk bertanya: sudahkah kita memerdekakan hati, pikiran, dan kehidupan seluruh rakyat Indonesia? Atau jangan-jangan, kita hanya negeri merdeka… katanya?

Share:

Silent Rebellion: Ancaman Tersembunyi dalam Organisasi dan Komunitas

Di banyak organisasi, komunitas, bahkan institusi, perlawanan sering kali dibayangkan sebagai sesuatu yang keras dan terbuka—protes, demonstrasi, atau konfrontasi langsung. Namun, tidak semua bentuk perlawanan terlihat dengan jelas. Ada fenomena yang lebih halus, nyaris tak terdengar, namun mampu menggerogoti fondasi kerja sama: silent rebellion atau pemberontakan senyap.

Memahami Silent Rebellion

Silent rebellion adalah bentuk perlawanan yang dilakukan tanpa konfrontasi langsung. Pelakunya tidak menentang secara terang-terangan, tetapi memilih diam, menghindar, atau melaksanakan instruksi secara setengah hati. Perlawanan ini biasanya muncul ketika seseorang merasa tidak didengar, tidak dihargai, atau tidak percaya pada kebijakan yang ada. Karena tidak terlihat, banyak pemimpin atau pengelola organisasi baru menyadari keberadaannya ketika dampaknya sudah terasa luas.

Mengapa Lebih Berbahaya dari Perlawanan Terbuka

Berbeda dengan protes yang jelas terlihat dan bisa segera direspons, silent rebellion bekerja seperti erosi yang perlahan mengikis tebing—prosesnya lambat, tetapi hasilnya bisa fatal. Penyebab utamanya terletak pada sifatnya yang sulit terdeteksi. Ketika komunikasi terputus, kepercayaan menurun, dan partisipasi melemah, organisasi akan kehilangan kekuatan dari dalam.

Beberapa faktor yang memicu fenomena ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Penyebab Silent RebellionContoh PerilakuDampak Jangka PendekDampak Jangka Panjang
Kurangnya komunikasi dua arah.Diam saat rapat, tapi menolak ide di belakang.Ide tidak dijalankan maksimal.Hilangnya kepercayaan dan kolaborasi.
Tidak merasa dihargai.Bekerja hanya sebatas formalitas.Produktivitas menurun.Budaya organisasi menjadi pasif.
Aturan dianggap tidak adil.Mematuhi di depan, melanggar di belakang.Kinerja tidak sesuai target.Norma kepatuhan hilang.
Kepemimpinan otoriter.Mengangguk setuju, tapi tidak menjalankan.Implementasi kebijakan terhambat.Muncul oposisi tersembunyi.
Tidak ada ruang partisipasi.Enggan memberi saran atau ide.Inovasi terhenti.Organisasi stagnan.
Beban kerja berlebihan.Menunda pekerjaan atau menurunkan kualitas.Pekerjaan menumpuk.Stres dan turnover meningkat.
Rasa tidak percaya.Menyembunyikan informasi penting.Koordinasi terganggu.Kerusakan sistem kerja secara struktural.


Dampak yang Meluas

Pada tahap awal, silent rebellion mungkin hanya tampak sebagai penurunan kinerja individu. Namun, seiring waktu, perilaku ini dapat menyebar ke anggota lain yang merasakan hal serupa. Situasi ini dapat melahirkan “lingkaran sunyi” di mana semua pihak saling berpura-pura setuju, padahal sebenarnya menolak. Ketika kondisi ini dibiarkan, organisasi akan kehilangan arah, kehilangan orang-orang terbaik, dan terjebak dalam stagnasi.

Mengatasi Silent Rebellion

Menghadapi pemberontakan senyap bukan berarti memperketat pengawasan atau menambah aturan, melainkan membangun kembali rasa saling percaya. Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  1. Membuka ruang komunikasi dua arah sehingga keluhan dapat diungkapkan tanpa rasa takut.

  2. Menghargai kontribusi setiap anggota, sekecil apa pun, agar mereka merasa memiliki peran penting.

  3. Meninjau kembali kebijakan yang tidak relevan atau tidak adil.

  4. Mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan, sehingga anggota merasa terlibat langsung.

  5. Menyeimbangkan beban kerja dan memberikan dukungan yang memadai.

Penutup

Silent rebellion adalah cermin bahwa masalah terbesar dalam organisasi sering kali bukanlah ketidakpatuhan terbuka, melainkan rasa kehilangan keterhubungan dan kepercayaan. Dengan memahami akar penyebabnya, membangun komunikasi yang sehat, serta menciptakan budaya kerja yang inklusif, ancaman senyap ini dapat diubah menjadi energi positif yang mendorong pertumbuhan bersama.

Share:

3726 MDPL: Tentang Waktu, Harapan, dan Kebersamaan

Dari Kota Santri,

Perjalanan hidup sering kali menyerupai pendakian gunung. Ada medan yang landai dan mudah dilalui, namun ada pula jalur curam yang membuat langkah melambat. Setiap pendaki tahu bahwa puncak tak pernah bisa dicapai dengan terburu-buru. Perlu waktu, tenaga, dan ketabahan untuk sampai ke sana. Inilah yang menjadi refleksi ketika membaca novel 3726 MDPL karya Nurwina Sari, sebuah kisah yang tidak hanya bercerita tentang cinta dan luka, tetapi juga tentang kesabaran, penantian, dan makna perjalanan.

Dalam kehidupan, kita kerap dihadapkan pada penantian. Menunggu sebuah kabar, menunggu seseorang, menunggu kesempatan, atau bahkan menunggu momen untuk bisa kembali merasakan kebersamaan. Penantian semacam ini tak jarang menguji hati. Ada kalanya kita bertanya: mengapa begitu lama? Mengapa belum tiba? Namun, seperti pesan yang mengalir dari semangat kisah 3726 MDPL, waktu yang lama bukan berarti sia-sia. Justru, hal-hal yang indah sering kali memerlukan proses panjang sebelum akhirnya bisa kita genggam.

Penantian itu sendiri adalah guru. Ia mengajarkan kita untuk percaya pada alur yang ditentukan oleh Tuhan dan semesta. Jika sesuatu datang, kita patut bersyukur. Jika tidak, kita belajar percaya bahwa ada sesuatu yang lebih baik menunggu di ujung lain perjalanan. Sama seperti mendaki gunung, terkadang cuaca buruk membuat kita harus menunda langkah. Bukan karena puncak tak ada, tetapi karena waktu terbaik untuk sampai di sana belum tiba.

Kisah yang terinspirasi dari ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut ini juga mengingatkan bahwa kebersamaan adalah anugerah yang nilainya tidak diukur dari lamanya waktu. Ada orang yang hadir hanya sebentar, sekilas, lalu menghilang... tetapi meninggalkan kesan yang dalam. Ada pula yang berjalan bersama kita dalam waktu yang panjang, namun tanpa sadar kehadirannya mengikis semangat, membuat langkah terasa kehilangan arah. Panjang atau singkatnya kebersamaan tidak mengurangi maknanya, karena setiap perjumpaan membawa pelajaran.

Sering kali kita terjebak pada keinginan untuk segera sampai pada hasil, mendapatkan pekerjaan impian, membangun hubungan yang kita dambakan, atau meraih cita-cita tertentu. Namun, 3726 MDPL mengajarkan bahwa proses itu sendiri adalah bagian dari hadiah. Dalam proses, kita belajar merasakan lelah, mengatasi ragu, dan menemukan kekuatan yang mungkin sebelumnya tidak kita sadari.

Mendaki gunung memberi kita perspektif bahwa keindahan bukan hanya terletak pada puncak, tetapi juga pada perjalanan. Pada jalur setapak yang berliku, pada napas yang terengah, pada obrolan ringan di tenda saat malam tiba, dan pada tawa yang terdengar di tengah dinginnya kabut. Begitu pula dalam hidup, kita perlu merayakan setiap langkah, bukan hanya menunggu tujuan akhir.

Ketika akhirnya kita sampai di puncak, entah itu dalam bentuk mimpi yang tercapai, pertemuan yang kita rindukan, atau kebahagiaan yang kita idamkan, kita akan menoleh ke belakang dan menyadari: semua lelah, tangis, dan rindu adalah bagian terindah dari perjalanan. Waktu yang kita anggap sebagai penundaan ternyata adalah masa persiapan.

Novel 3726 MDPL karya Nurwina Sari, kisahnya membisikkan pada pembaca bahwa hidup bukan tentang siapa yang sampai duluan, tetapi tentang bagaimana kita berjalan, menjaga harapan, dan memaknai setiap kebersamaan. Sebab, meski puncak itu tinggi dan jauh, langkah kita yang sabar akan selalu membawanya semakin dekat. Dan ketika waktu itu tiba, kita akan mengerti: penantian adalah bagian dari keindahan itu sendiri.

Share:

Coding Tanpa Gawai: Solusi di Tengah Larangan HP dan Keterbatasan Perangkat Komputer di Sekolah

Di tengah era digital yang menuntut keterampilan berpikir komputasional dan literasi teknologi, pada tanggal 2 Mei 2025, Gubernur Jawa Barat, secara resmi menerbitkan aturan yang melarang siswa jenjang SD hingga SMP membawa handphone (HP) ke sekolah. Kebijakan ini mulai disosialisasikan di Purwakarta pada 14 Mei 2025 bersamaan dengan penerapan PP Tunas (Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak)Tujuan utamanya adalah melindungi siswa dari distraksi gadget, mengurangi potensi kecanduan digital, serta meningkatkan fokus dalam proses belajar mengajarSelain kebijakan provinsi, beberapa daerah seperti Purwakarta telah memperkuat regulasi tersebut melalui Perbup No. 32 Tahun 2025, yang melarang penggunaan HP oleh peserta didik selama berada di lingkungan sekolah, bahkan hingga di lingkungan rumah atau masyarakat, dengan pengecualian hanya untuk situasi darurat di bawah pengawasan orang tua.
Namun, kebijakan tersebut menimbulkan dilema tersendiri bagi guru dan sekolah, terutama dalam konteks pembelajaran informatika, khususnya pemrograman (coding), yang selama ini identik dengan penggunaan perangkat digital seperti komputer dan gawai. Tantangan ini menjadi semakin kompleks di sekolah-sekolah yang belum memiliki fasilitas laboratorium komputer atau akses teknologi yang memadai. Lalu, apakah mungkin pembelajaran coding dilakukan tanpa menggunakan perangkat digital? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan, pendekatan ini dikenal secara internasional dengan istilah "unplugged coding" yakni pembelajaran konsep dasar pemrograman tanpa komputer atau HP.

Unplugged Coding: Menanamkan Konsep Pemrograman Tanpa Teknologi
Unplugged coding adalah pendekatan inovatif yang mengajarkan konsep berpikir komputasional seperti algoritma, perulangan (loop), percabangan (if/else), dan debugging, melalui aktivitas nyata tanpa menggunakan perangkat digital. Kegiatan ini memanfaatkan alat sederhana seperti kertas, kartu, panah, grid, bahkan interaksi antar siswa.
Contoh kegiatan unplugged antara lain:
  • "Saya Robot, Kamu Programmer": siswa berpasangan, yang satu berperan sebagai “robot” dan yang lain sebagai “programmer” yang memberi instruksi langkah demi langkah.

  • Puzzle Panah dan Maze Kertas: siswa menyusun panah arah untuk menyelesaikan labirin, melatih kemampuan algoritma dan logika.

  • Instruksi Harian: menuliskan langkah-langkah logis dari aktivitas sehari-hari, seperti membuat teh atau menyikat gigi.

Melalui kegiatan ini, siswa belajar bahwa coding bukan tentang mengetik di komputer, melainkan tentang menyusun perintah secara urut, logis, dan efisien (sebuah keterampilan inti abad ke-21).

Mengapa “Unplugged Coding” Relevan di Kondisi Ini?
a. Mendukung kebijakan larangan HP
Dengan siswa tidak diperbolehkan membawa gawai, metode pembelajaran tanpa gawai menjadi sangat cocok. Ini selaras dengan Kabupaten/Kota dan Provinsi yang ingin meminimalkan distraksi gadget.

b. Solusi untuk keterbatasan fasilitas
Banyak sekolah di Jawa Barat yang belum memiliki laboratorium komputer atau perangkat TIK memadai. “Unplugged coding” memungkinkan pengajaran dasar algoritma, logika, dan berpikir komputasional tanpa memerlukan perangkat digital.

c. Mendorong literasi komputasional dasar
Metode ini membantu membangun pola pikir algoritmik, logika, debugging, dan struktur percabangan/perulangan (inti kompetensi coding) tanpa layar, melalui aktivitas permainan, simulasi, dan instruksi verbal atau tertulis.

Implementasi di Sekolah: RPP dan LKPD Tanpa Gawai
Pada era digital, wacana tentang literasi komputasi seringkali diasosiasikan dengan perangkat layar seperti komputer, laptop, atau smartphone. Namun, kebijakan pelarangan HP oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak 2 Mei 2025 menunjukkan sebuah ironi: di satu sisi kita ingin memperkenalkan siswa pada teknologi, tetapi di sisi lain kita meminimalkan eksposur teknologi yang dianggap mengganggu proses belajar.
Dalam konteks seperti ini, pembelajaran unplugged coding muncul sebagai pendekatan edukatif yang tidak hanya menghormati kebijakan larangan HP, tetapi juga inovatif dalam memanfaatkan keterbatasan infrastruktur TIK. Lewat metode ini, siswa belajar menyusun algoritma, memahami percabangan (if‑else), dan perulangan (loop), menggunakan alat sederhana seperti kertas, panah, kartu warna, atau simulasi tubuh manusia.
Lebih jauh lagi, metode ini menguatkan kompetensi seperti:
  • Kolaborasi antara siswa sebagai “programmer” dan “robot” dalam simulasi interaktif,

  • Refleksi kritis terhadap logika yang diterapkan: apakah instruksi berjalan sesuai harapan?

  • Komunikasi verbal dan tertulis yang lugas dan sistematis.

Implementasi seperti ini menunjukkan bahwa literasi komputasional tidak selalu bergantung pada teknologi, tetapi pada cara berpikir sistematik yang bisa diajarkan lewat pengalaman konkret.
Guru tetap dapat mengajarkan coding secara bermakna dengan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis aktivitas unplugged. Dalam satu pertemuan 1 x 40 menit, siswa dapat dikenalkan pada konsep algoritma melalui permainan dan simulasi. Evaluasi pembelajaran dilakukan dengan observasi, asesmen kinerja, dan refleksi tertulis sederhana. Kegiatan ini dapat terintegrasi dengan mata pelajaran lain seperti Matematika (pola), Bahasa Indonesia (struktur kalimat instruksi), PJOK (aktivitas fisik), dan bahkan pembelajaran berbasis Proyek.
Sebagai penguatan, guru dapat menggunakan LKPD kreatif yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan berpikir logis dan pemecahan masalah. LKPD bisa mencakup tugas seperti menulis algoritma kegiatan harian, membuat peta lintasan robot dengan perintah panah, atau menyusun skenario if-else dalam kehidupan nyata. Semua dilakukan dengan alat sederhana seperti kertas, pulpen, atau benda sekitar.

Pendekatan Low-Tech dan Kolaboratif untuk Guru
Untuk mendukung keberhasilan pembelajaran unplugged coding, guru dapat mengadopsi pendekatan low-tech yang kreatif dan kolaboratif. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:
  • Drama Coding: siswa bermain peran sebagai “komputer” yang menjalankan perintah tertulis dari “programmer”.

  • Kode Warna dan Simbol: penggunaan kartu berwarna atau simbol tertentu untuk menggantikan perintah digital.

  • Loop Card: pengulangan perintah menggunakan simbol “ulang 3x” dan sebagainya.

  • Kolaborasi Antarmapel: membangun pembelajaran lintas disiplin yang memperkuat keterampilan algoritmik.

Guru juga didorong untuk mendokumentasikan praktik baik ini sebagai bentuk inovasi sekolah, yang bisa dibagikan dalam forum MGMP, pelatihan guru, atau lomba praktik mengajar. Hal ini membuktikan bahwa keterbatasan teknologi bukanlah penghalang bagi kemajuan pembelajaran, justru dapat menjadi titik tolak inovasi.

Kesimpulan: Tantangan Menjadi Peluang
Kebijakan larangan membawa HP ke sekolah dan keterbatasan perangkat komputer seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda pembelajaran coding. Justru hal ini dapat menjadi momentum untuk mengenalkan konsep pemrograman secara lebih kontekstual, kreatif, dan menyenangkan melalui pendekatan unplugged. Dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan mengedepankan esensi berpikir komputasional, guru tetap dapat membekali siswa dengan keterampilan penting abad ke-21, tanpa bergantung pada perangkat digital.
Dengan kata lain, coding bukan semata-mata soal teknologi, melainkan soal logika, kreativitas, dan kemampuan berpikir sistematis. Dan itu semua, bisa dimulai dari selembar kertas, seutas tali, dan semangat guru yang tidak pernah berhenti berinovasi.
Share:

Menakar Jam Kerja Guru dan Dampaknya bagi Produktivitas serta Capaian Belajar Siswa: Sebuah Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan Waktu Sekolah

Pendahuluan

Dalam beberapa satuan pendidikan, terdapat kebijakan bahwa guru dan siswa masuk sekolah mulai pukul 06.30 WIB hingga pukul 14.50 WIB pada hari Senin dan Selasa, hingga pukul 14.10 WIB pada hari Rabu dan Kamis, serta hanya sampai pukul 11.10 WIB pada hari Jumat. Hari Sabtu ditetapkan sebagai hari libur. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan disiplin dan produktivitas. Namun, pertanyaannya: apakah pola waktu kerja ini sejalan dengan regulasi dan efektif dalam meningkatkan mutu pembelajaran?

Dalam konteks ini, perlu dilakukan analisis berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, serta memperhatikan prinsip pedagogis, psikologis, dan manajerial dalam penyelenggaraan pendidikan.


Beban Kerja Guru: Antara Kehadiran dan Kinerja Profesional

Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 menegaskan bahwa beban kerja guru adalah 37 jam 30 menit per minggu di luar waktu istirahat. Secara fisik, kehadiran guru di sekolah dalam lima hari kerja terlihat sudah cukup panjang. Namun, apabila memperhitungkan waktu istirahat dan tidak seluruhnya digunakan untuk kegiatan pembelajaran maupun tugas profesional lainnya, maka waktu efektif kerja yang benar-benar produktif bisa saja belum memenuhi ketentuan tersebut.

Dengan demikian, secara administratif beban kerja belum sepenuhnya tercapai. Namun perlu dicatat bahwa beban kerja guru tidak hanya dihitung berdasarkan kehadiran mengajar di kelas, melainkan juga mencakup:

  • Perencanaan pembelajaran
  • Penilaian dan evaluasi
  • Bimbingan kepada peserta didik
  • Pengembangan profesi
  • Tugas tambahan seperti wali kelas, pembina OSIS, koordinator ekstrakurikuler, dan lainnya

Jika kegiatan-kegiatan tersebut terdata dan diakui dalam Sasaran Kinerja Pegawai (SKP), maka pemenuhan beban kerja dapat dicapai secara proporsional. Oleh karena itu, manajemen kinerja guru harus berbasis portofolio kegiatan, bukan hanya kehadiran.


Produktivitas Guru: Terancam oleh Pola Jam Masuk yang Terlalu Pagi

Waktu masuk pukul 06.30 WIB menuntut guru untuk memulai aktivitas dari rumah sejak sebelum subuh, terutama bagi yang tinggal jauh dari sekolah. Hal ini berpotensi menurunkan kebugaran fisik, konsentrasi, dan kesiapan mengajar terutama di jam-jam akhir pembelajaran (sekitar pukul 13.00–14.50).

Dalam jangka panjang, kelelahan fisik akibat jadwal yang terlalu panjang dapat menurunkan kualitas pengajaran, apalagi jika tidak diimbangi dengan pola hidup sehat dan manajemen beban kerja yang baik. Hal ini selaras dengan temuan dari penelitian oleh Liu & Ramsey (2008) yang menunjukkan bahwa tingkat stres dan beban kerja berlebih berbanding terbalik dengan efektivitas pembelajaran di ruang kelas.


Capaian Belajar Siswa: Jangan Sampai Terkorbankan oleh Panjangnya Jam Sekolah

Siswa yang mengikuti jam masuk dan pulang yang sama dengan guru mengalami total waktu berada di sekolah yang cukup panjang, bahkan lebih dari delapan jam per hari pada awal pekan. Jika waktu tersebut tidak diisi dengan kegiatan belajar yang bervariasi dan bermakna, maka akan menimbulkan kejenuhan, kelelahan, bahkan penurunan motivasi belajar.

Menurut Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024, kurikulum seharusnya memberi ruang pada fleksibilitas waktu, diferensiasi pembelajaran, dan kesejahteraan peserta didik. Maka, kebijakan waktu sekolah yang terlalu panjang tanpa mempertimbangkan aspek pedagogis bisa kontraproduktif terhadap tujuan kurikulum tersebut.

Penelitian dari UNESCO (2019) juga memperingatkan bahwa waktu belajar yang terlalu lama tidak otomatis berkorelasi positif dengan prestasi, bahkan bisa berdampak negatif jika tidak disertai strategi pembelajaran yang mendukung keseimbangan antara akademik dan non-akademik.


Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis tersebut, berikut beberapa rekomendasi:

  1. Audit beban kerja guru secara menyeluruh dengan memasukkan semua komponen tugas ke dalam SKP, bukan sekadar jumlah jam tatap muka.
  2. Tinjau ulang kebijakan jam masuk dan pulang untuk menyeimbangkan antara disiplin, produktivitas, dan kesejahteraan guru dan siswa.
  3. Gunakan waktu tambahan bukan untuk memperpanjang jam akademik, tetapi untuk kegiatan penguatan karakter, kreativitas, literasi, dan pembelajaran berbasis proyek.
  4. Lakukan dialog partisipatif dengan melibatkan guru, siswa, dan orang tua untuk menyusun manajemen waktu sekolah yang adaptif dan kontekstual.


Penutup

Pengelolaan waktu sekolah bukan sekadar soal disiplin dan kehadiran, tetapi merupakan bagian dari sistem manajemen pembelajaran yang harus mempertimbangkan aspek regulasi, produktivitas, dan kesejahteraan semua pihak. Kebijakan jam masuk pukul 06.30 WIB mungkin terlihat sederhana, namun dampaknya bisa sangat kompleks bila tidak diiringi dengan pengelolaan profesional dan pendekatan humanis.

Pendidikan bukan hanya tentang "berapa lama kita di sekolah", tetapi "seberapa bermaknanya waktu yang dihabiskan di sekolah".


Referensi

  • Permendikdasmen Nomor 11 Tahun 2025 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru
  • Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum
  • Liu, S., & Ramsey, J. (2008). Teachers’ job satisfaction: Analyses of the Teacher Follow-up Survey in the United States for 2000–2001. Teaching and Teacher Education, 24(5), 1173–1184.
  • UNESCO (2019). Time to Learn: How the Use of Time Can Support Teaching and Learning. Paris: UNESCO Publishing.
  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Share:

Website Translator

Visitors