Awal dari Sebuah Perjalanan
Di Pandan Gadang, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi salah satu pemikir paling berani dan visioner di tanah air: Tan Malaka. Latar Minangkabau yang kental dengan tradisi berdiskusi dan merantau membentuk kepribadiannya sejak dini.
Ia menempuh pendidikan di Kweekschool Bukittinggi, lalu mendapat kesempatan belajar di Rijkskweekschool Haarlem, Belanda. Di negeri itu, ia menyadari bahwa pendidikan sejati bukanlah soal menghafal, melainkan memahami. “Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin,” kelak ia tulis dalam karya monumentalnya, Madilog.
Madilog: Senjata yang Tak Bisa Dirampas
Pada masa pendudukan Jepang, ketika senjata api sulit didapat, Tan Malaka justru mengasah senjata yang tak bisa dirampas: akal budi. Ia menulis Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, Logika—sebuah panduan berpikir rasional untuk membebaskan bangsa dari takhayul dan pola pikir feodal.
“Ingatlah! … disinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya Logika.” (Madilog)
Bagi Tan Malaka, kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari hilangnya kekuasaan kolonial, tetapi dari bebasnya pikiran bangsa.
Pejuang Kemerdekaan Seratus Persen
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan, sebuah aliansi politik yang menuntut kemerdekaan seratus persen tanpa kompromi dengan Belanda. Sikapnya tegas, bahkan berseberangan dengan strategi diplomasi yang ditempuh pemerintah kala itu.
Perbedaan pandangan inilah yang membuatnya berulang kali dicurigai, dipenjara, bahkan dibungkam. Namun ia tak pernah menyerah. Ia tetap bergerilya di medan Jawa Timur, memimpin rakyat yang percaya padanya.
Surat Terakhir: Harapan di Tengah Badai
Dalam sebuah surat bertanggal 5 Januari 1921 kepada sahabatnya, Dick Van Wijngaarden, Tan Malaka menulis:
“Pada saat kau terima surat ini, mungkin sekali aku sudah lama ada di Medan atau Jawa… Aku mencoba akan menjadi manusia yang patut hidup pada zaman ini.”
Kata-kata ini memancarkan kerendahan hati seorang pejuang, yang meskipun diburu, tetap menatap masa depan bangsanya.
Eksekusi dalam Sunyi
Februari 1949, di tengah kekacauan Agresi Militer Belanda II, Tan Malaka ditangkap di Selopanggung, Kediri, oleh Batalion Sikatan. Tidak ada pengadilan, tidak ada pembelaan. Saksi mata mengisahkan ia dieksekusi pada 21 Februari 1949 dan jasadnya dikuburkan di sebuah hutan sunyi.
Ironisnya, Tan Malaka gugur bukan di tangan penjajah, tetapi di tangan bangsanya sendiri—di negeri yang ia cintai dan perjuangkan seumur hidupnya.
Suara yang Tak Pernah Padam
Dalam otobiografinya, ia pernah menulis:
“Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.”
Kini, 80 tahun setelah proklamasi, suara itu masih terdengar. Ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya berani mengangkat senjata, tetapi juga berani berpikir melawan arus. Ia mengingatkan kita bahwa pendidikan harus memerdekakan pikiran, dan kepemimpinan harus berpijak pada logika, fakta, dan moralitas.
Epilog
Tan Malaka telah diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1963, tetapi pengakuan itu belum cukup untuk menebus sunyi yang melingkupi akhir hidupnya. Mengingat Tan Malaka pada peringatan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya soal mengangkat namanya dari kubur sejarah, tetapi juga memastikan bahwa gagasannya tetap menjadi kompas moral bangsa.
Karena pada akhirnya, seperti yang ia yakini, peluru hanya bisa membungkam tubuh—bukan pikiran.
Daftar Pustaka
-
Malaka, Tan. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. Archive Marxists. [Pendahuluan & Bab II dan V]
-
Surat Tan Malaka kepada Dick Van Wijngaarden, 5 Januari 1921. Historia.ID
-
Ensiklopedia Kemdikbud. “Materialisme Dialektika dan Logika (MADILOG)”
-
“Tahun Terakhir Tan Malaka.” Historia.ID
-
Wikipedia. “Tan Malaka”