Indonesia dibangun di atas cita-cita luhur: kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Itulah janji demokrasi—memberi rakyat hak menentukan arah bangsa dan menuntut pemimpin menjadi pelayan publik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering tergelincir menjadi arena perebutan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Hari ini, banyak rakyat
menyaksikan fenomena yang mirip dengan kleptokrasi: pemerintahan yang dikuasai
oleh mereka yang lebih sibuk memperkaya diri sendiri daripada mengabdi untuk kesejahteraan
rakyat. Kebijakan yang seharusnya berorientasi pada pemerataan dan keadilan
sosial justru condong kepada kepentingan segelintir elite—demokrasi menjadi
panggung transaksional, di mana suara rakyat ditukar dengan janji-janji politik
yang mudah dilupakan.
Fenomena ini tidak lagi sekadar
teori. Kasus-kasus nyata telah menegaskan bagaimana pejabat publik di Indonesia
menyalahgunakan wewenangnya. Misalnya, pada tahun 2025 mencuat dugaan korupsi
pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi senilai hampir Rp 9,9 triliun. Padahal, uji coba sebelumnya telah
menunjukkan bahwa perangkat tersebut tidak efektif digunakan di lapangan.
Skandal serupa juga mengguncang sektor energi, ketika Pertamina dituduh
menyalahgunakan subsidi bahan bakar antara Pertalite dan Pertamax, yang
mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. Kedua kasus ini
menggambarkan bagaimana kebijakan publik kerap dijadikan ladang bancakan
daripada instrumen untuk menyejahterakan rakyat (Wikipedia, 2025, & Wikipedia, 2025).
Di tingkat daerah, menurut
catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), antara 2010 hingga 2015 setidaknya
183 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Angka tersebut menunjukkan bahwa
korupsi di kalangan elite birokrasi bukan hanya persoalan individu, melainkan
telah menjadi budaya yang membahayakan demokrasi. Bahkan, Wakil Ketua KPK
periode 2011–2015, Busyro Muqoddas, pernah memperingatkan bahwa jika praktik
ini terus berlanjut, Indonesia berpotensi bergeser dari demokrasi menuju kleptokrasi—sebuah
sistem di mana pejabat publik lebih sibuk mencuri daripada melayani rakyat (ICW, 2015, & Liputan6, 2013).
Di saat rakyat merasakan kian
beratnya hidup—harga barang naik, lapangan kerja langka, pelayanan publik
tertinggal—beberapa pejabat justru menerima tambahan pendapatan signifikan dari
pos tunjangan. Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan bahwa total penerimaan
bersih anggota DPR kini mencapai Rp 69–70 juta per bulan, naik dari sebelumnya
sekitar Rp 58 juta. Tidak ada kenaikan gaji pokok—yang tetap stabil selama
belasan tahun—namun tunjangan, terutama tunjangan perumahan, dinaikkan tajam YouTubetirto.idRadar Jombang.
Salah satu poin yang mencuri
perhatian publik adalah tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan,
sebagai pengganti rumah dinas yang tidak lagi diberikan sejak Oktober 2024.
Menurut penjelasan, tunjangan ini wajar mengingat kondisi rumah dinas yang
sudah tidak ekonomis dan penyesuaian dengan harga sewa di sekitar
Senayan—Jakarta Pusat tirto.iddetiknewsRadar Jombang.
Meski demikian, detail mengenai
tunjangan lain sempat menimbulkan kontroversi. Pernyataan Adies bahwa tunjangan
beras naik dari Rp 10 juta ke Rp 12 juta, dan tunjangan bensin naik dari Rp 4–5
juta ke sekitar Rp 7 juta, sempat meresahkan publik. Namun kemudian ia
meluruskan bahwa data tersebut keliru—sebelumnya disebut, tunjangan beras hanya
sekitar Rp 200 ribu per bulan dan tidak berubah sejak 2010, maupun tunjangan
bensin tetap di kisaran Rp 3 juta kumparankontan.co.id.
Kenaikan tunjangan perumahan
serta sejumlah data yang simpang siur mempertegas jarak antara harapan rakyat
dan realitas elit. Ketika fuji pengabdian publik tergeser oleh kalkulasi
tunjangan, rakyat menatap jauh ke depan dengan frustrasi—sedangkan kebijakan
semestinya mengutamakan kesejahteraan kolektif, bukan keuntungan individu.
Namun, harapan belum padam.
Sejarah membuktikan, ketika rakyat menyadari kekuatannya, perubahan bisa
terjadi. Demokrasi harus direbut kembali dari tangan segelintir elite menuju
kembali ke pangkuan rakyat. Caranya bukan dengan mobokrasi—pemerintahan oleh
kerumunan tanpa aturan—tetapi melalui kesadaran politik, partisipasi yang
cerdas, dan penguatan lembaga hukum yang berintegritas.
Sebagaimana Abraham Lincoln
pernah menegaskan, “Democracy is government of the people, by the people,
for the people.” Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati
tidak boleh melenceng dari hakikatnya: kekuasaan adalah milik rakyat, bukan
segelintir elite yang rakus.
Soekarno juga mengingatkan kita
dalam pidatonya, “Politik tidak boleh berdiri di atas kaki yang
materialistis, tetapi harus berakar pada moral dan keadilan.” Pesan itu
terasa semakin relevan hari ini, ketika politik kerap ditukar dengan uang dan
kekuasaan, jauh dari semangat pengabdian.
Selain itu, Nelson Mandela pernah
berkata, “Kepemimpinan sejati tidak dinilai dari seberapa besar kekuasaan
yang kau genggam, melainkan dari seberapa besar pengaruhmu untuk melayani
rakyatmu.” Inilah ukuran sejati pemimpin bangsa: bukan berapa banyak
kekayaan yang terkumpul, melainkan seberapa luas jejak kesejahteraan yang ia
tinggalkan.
Indonesia membutuhkan pejabat
yang menempatkan diri sebagai pelayan, bukan penguasa. Dibutuhkan sistem yang
menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta rakyat yang kritis sekaligus berani
menagih janji. Demokrasi sejati bukanlah sekadar prosedur pemilu lima tahunan,
melainkan keberpihakan nyata pada kesejahteraan rakyat.
Jika hal ini tidak segera
dibenahi, demokrasi hanya akan menjadi nama indah tanpa jiwa, sekadar topeng
yang menutupi wajah oligarki. Namun, jika rakyat bersatu, sadar, dan terus
berjuang, masih ada harapan bahwa cita-cita awal bangsa ini—keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia—bukan sekadar utopia, melainkan kenyataan.
Daftar Pustaka
- Lincoln,
A. (1863). The Gettysburg Address.
- Mandela,
N. (1994). Long Walk to Freedom. Little, Brown and Company.
- Soekarno.
(1961). Pidato Lahirnya Manipol USDEK.
- Wikipedia. (2025). Chromebook procurement scandal (Indonesia).
- Wikipedia.
(2025). 2025 Pertamina corruption case.
- Wikipedia.
(2025). Sunjaya Purwadisastra.
- Wikipedia.
(2025). Ade Yasin.
- ICW.
(2015). Budaya Kleptokrasi Kepala Daerah. antikorupsi.org.
- iNews, (2025, 20 Agustus). Pimpinan DPR Luruskan Isu Kenaikan Gaji Anggota hingga Tunjangan Perumahan.
- Tirto.id,
(2025). Adies Kadir Anggap Tunjangan DPR Naik karena Dikasihani Menkeu.
- Radar
Jombang / JwaPos, (2025). Makin Sejahtera! Tunjangan Anggota DPR 2025
Naik, Segini Nomimalnya Per Bulan.
- Detik.com,
(2025). Pimpinan DPR: Tak Ada Kenaikan Gaji Anggota, Hanya Tunjangan
Perumahan.
- TVOne,
(2025). Penyebab Tunjangan Beras Anggota DPR Naik Jadi Rp12 Juta Per
Bulan: Harga Naik.
- Detik.com, (2025). Klarifikasi Kenaikan Tunjangan DPR, Adies Kadir: Ini Data Terbarunya.