Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

Suara dari Tanjakan Jahim

Prolog
Malam itu tanggal 25 Juli 2025. Jalanan dari Tasik menuju Kuningan tampak sunyi, hanya diterangi cahaya lampu motor yang seolah kalah oleh gelapnya hutan. Aku mengambil jalur alternatif: orang-orang menyebutnya “Jahim” ... jalur yang katanya lebih cepat, tapi tak semua pengemudi ingin lewat dua kali di malam hari.

Aku bukan tipe penakut. Tapi malam itu, sesuatu mengubah segalanya.

Bagian 1: Jalan yang Tak Ramah
Kabut mulai turun perlahan ketika aku memasuki tikungan ketiga setelah tanjakan panjang. Suasana berubah drastis, udara dingin menusuk, dan hutan di kiri-kanan seperti menutup jalan. Tak ada lampu, tak ada rumah, hanya suara motor dan gemerisik angin.

Lalu aku dengar suara orang berbicara.

Pertama samar, seperti bisik-bisik. Lama-lama jelas, seperti dua atau tiga orang sedang berdialog. Aku menoleh ke arah suara, tapi hanya gelap dan pohon. Tidak ada cahaya, tidak ada pergerakan.

Setiap aku melewati tanjakan yang menikung, suara itu muncul lagi. Kadang terdengar seperti tertawa kecil, kadang seperti sedang membacakan sesuatu. Tapi tak ada siapa pun di sana.

Bagian 2: Tidak Semua Sosok Ingin Dikenali
Di satu titik, aku melihat bayangan putih di ujung tikungan. Awalnya kukira orang. Tapi dia tidak bergerak. Saat aku mendekat, bayangan itu lenyap, seolah menembus kabut.

Tubuhku mulai dingin. Entah karena udara, atau rasa yang tak bisa dijelaskan. Aku menarik gas pelan-pelan sambil membaca doa dalam hati.

Motor terasa berat.

Mesin tersendat sebentar, seolah ada sesuatu yang menahan ban belakang. Tapi jalanan kosong. Aku berhenti sejenak, menatap ke sekeliling.

Dan saat itu… suara langkah terdengar dari arah belakang.

Cepat, mantap, dan tak wajar. Aku langsung menstarter motor dan pergi secepat mungkin.

Bagian 3: Penjaga Jalur Jahim
Kata orang, Puncak Jahim bukan sekadar tanjakan. Itu pintu ke tempat yang harus dilewati dengan izin, bukan sekadar keberanian.

Warga sekitar sering berkata:

“Kalau lewat malam hari, jangan sompral. Kadang bukan jalannya yang minta korban, tapi yang menunggui.”

Aku ingat tak sempat izin. Tak mengucap salam seperti biasanya. Dan mungkin, malam itu… aku dianggap asing yang sombong.

Epilog: Tidak Pernah Benar-Benar Sendiri
Sesampainya di rumah, aku menengok kaca spion sebelum mematikan motor. Di sana, di kabut yang belum juga hilang dari pikiranku, aku seperti masih bisa mendengar suara itu.

Berbisik, memanggil... atau mungkin mengucapkan selamat datang kembali.

Catatan Penulis:
Cerita ini diilhami dari kejadian nyata pada malam 25 Juli 2025, di jalur alternatif Cikijing – Cineam – Tasikmalaya yang dikenal dengan nama Puncak Jahim. Rute ini menyimpan kombinasi antara keindahan, bahaya fisik, dan misteri spiritual yang masih dipercaya oleh banyak warga.
Share:

Website Translator

Visitors