Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

Coding Tanpa Gawai: Solusi di Tengah Larangan HP dan Keterbatasan Perangkat Komputer di Sekolah

Di tengah era digital yang menuntut keterampilan berpikir komputasional dan literasi teknologi, pada tanggal 2 Mei 2025, Gubernur Jawa Barat, secara resmi menerbitkan aturan yang melarang siswa jenjang SD hingga SMP membawa handphone (HP) ke sekolah. Kebijakan ini mulai disosialisasikan di Purwakarta pada 14 Mei 2025 bersamaan dengan penerapan PP Tunas (Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak)Tujuan utamanya adalah melindungi siswa dari distraksi gadget, mengurangi potensi kecanduan digital, serta meningkatkan fokus dalam proses belajar mengajarSelain kebijakan provinsi, beberapa daerah seperti Purwakarta telah memperkuat regulasi tersebut melalui Perbup No. 32 Tahun 2025, yang melarang penggunaan HP oleh peserta didik selama berada di lingkungan sekolah, bahkan hingga di lingkungan rumah atau masyarakat, dengan pengecualian hanya untuk situasi darurat di bawah pengawasan orang tua.
Namun, kebijakan tersebut menimbulkan dilema tersendiri bagi guru dan sekolah, terutama dalam konteks pembelajaran informatika, khususnya pemrograman (coding), yang selama ini identik dengan penggunaan perangkat digital seperti komputer dan gawai. Tantangan ini menjadi semakin kompleks di sekolah-sekolah yang belum memiliki fasilitas laboratorium komputer atau akses teknologi yang memadai. Lalu, apakah mungkin pembelajaran coding dilakukan tanpa menggunakan perangkat digital? Jawabannya: sangat mungkin. Bahkan, pendekatan ini dikenal secara internasional dengan istilah "unplugged coding" yakni pembelajaran konsep dasar pemrograman tanpa komputer atau HP.

Unplugged Coding: Menanamkan Konsep Pemrograman Tanpa Teknologi
Unplugged coding adalah pendekatan inovatif yang mengajarkan konsep berpikir komputasional seperti algoritma, perulangan (loop), percabangan (if/else), dan debugging, melalui aktivitas nyata tanpa menggunakan perangkat digital. Kegiatan ini memanfaatkan alat sederhana seperti kertas, kartu, panah, grid, bahkan interaksi antar siswa.
Contoh kegiatan unplugged antara lain:
  • "Saya Robot, Kamu Programmer": siswa berpasangan, yang satu berperan sebagai “robot” dan yang lain sebagai “programmer” yang memberi instruksi langkah demi langkah.

  • Puzzle Panah dan Maze Kertas: siswa menyusun panah arah untuk menyelesaikan labirin, melatih kemampuan algoritma dan logika.

  • Instruksi Harian: menuliskan langkah-langkah logis dari aktivitas sehari-hari, seperti membuat teh atau menyikat gigi.

Melalui kegiatan ini, siswa belajar bahwa coding bukan tentang mengetik di komputer, melainkan tentang menyusun perintah secara urut, logis, dan efisien (sebuah keterampilan inti abad ke-21).

Mengapa “Unplugged Coding” Relevan di Kondisi Ini?
a. Mendukung kebijakan larangan HP
Dengan siswa tidak diperbolehkan membawa gawai, metode pembelajaran tanpa gawai menjadi sangat cocok. Ini selaras dengan Kabupaten/Kota dan Provinsi yang ingin meminimalkan distraksi gadget.

b. Solusi untuk keterbatasan fasilitas
Banyak sekolah di Jawa Barat yang belum memiliki laboratorium komputer atau perangkat TIK memadai. “Unplugged coding” memungkinkan pengajaran dasar algoritma, logika, dan berpikir komputasional tanpa memerlukan perangkat digital.

c. Mendorong literasi komputasional dasar
Metode ini membantu membangun pola pikir algoritmik, logika, debugging, dan struktur percabangan/perulangan (inti kompetensi coding) tanpa layar, melalui aktivitas permainan, simulasi, dan instruksi verbal atau tertulis.

Implementasi di Sekolah: RPP dan LKPD Tanpa Gawai
Pada era digital, wacana tentang literasi komputasi seringkali diasosiasikan dengan perangkat layar seperti komputer, laptop, atau smartphone. Namun, kebijakan pelarangan HP oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak 2 Mei 2025 menunjukkan sebuah ironi: di satu sisi kita ingin memperkenalkan siswa pada teknologi, tetapi di sisi lain kita meminimalkan eksposur teknologi yang dianggap mengganggu proses belajar.
Dalam konteks seperti ini, pembelajaran unplugged coding muncul sebagai pendekatan edukatif yang tidak hanya menghormati kebijakan larangan HP, tetapi juga inovatif dalam memanfaatkan keterbatasan infrastruktur TIK. Lewat metode ini, siswa belajar menyusun algoritma, memahami percabangan (if‑else), dan perulangan (loop), menggunakan alat sederhana seperti kertas, panah, kartu warna, atau simulasi tubuh manusia.
Lebih jauh lagi, metode ini menguatkan kompetensi seperti:
  • Kolaborasi antara siswa sebagai “programmer” dan “robot” dalam simulasi interaktif,

  • Refleksi kritis terhadap logika yang diterapkan: apakah instruksi berjalan sesuai harapan?

  • Komunikasi verbal dan tertulis yang lugas dan sistematis.

Implementasi seperti ini menunjukkan bahwa literasi komputasional tidak selalu bergantung pada teknologi, tetapi pada cara berpikir sistematik yang bisa diajarkan lewat pengalaman konkret.
Guru tetap dapat mengajarkan coding secara bermakna dengan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis aktivitas unplugged. Dalam satu pertemuan 1 x 40 menit, siswa dapat dikenalkan pada konsep algoritma melalui permainan dan simulasi. Evaluasi pembelajaran dilakukan dengan observasi, asesmen kinerja, dan refleksi tertulis sederhana. Kegiatan ini dapat terintegrasi dengan mata pelajaran lain seperti Matematika (pola), Bahasa Indonesia (struktur kalimat instruksi), PJOK (aktivitas fisik), dan bahkan pembelajaran berbasis Proyek.
Sebagai penguatan, guru dapat menggunakan LKPD kreatif yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan berpikir logis dan pemecahan masalah. LKPD bisa mencakup tugas seperti menulis algoritma kegiatan harian, membuat peta lintasan robot dengan perintah panah, atau menyusun skenario if-else dalam kehidupan nyata. Semua dilakukan dengan alat sederhana seperti kertas, pulpen, atau benda sekitar.

Pendekatan Low-Tech dan Kolaboratif untuk Guru
Untuk mendukung keberhasilan pembelajaran unplugged coding, guru dapat mengadopsi pendekatan low-tech yang kreatif dan kolaboratif. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain:
  • Drama Coding: siswa bermain peran sebagai “komputer” yang menjalankan perintah tertulis dari “programmer”.

  • Kode Warna dan Simbol: penggunaan kartu berwarna atau simbol tertentu untuk menggantikan perintah digital.

  • Loop Card: pengulangan perintah menggunakan simbol “ulang 3x” dan sebagainya.

  • Kolaborasi Antarmapel: membangun pembelajaran lintas disiplin yang memperkuat keterampilan algoritmik.

Guru juga didorong untuk mendokumentasikan praktik baik ini sebagai bentuk inovasi sekolah, yang bisa dibagikan dalam forum MGMP, pelatihan guru, atau lomba praktik mengajar. Hal ini membuktikan bahwa keterbatasan teknologi bukanlah penghalang bagi kemajuan pembelajaran, justru dapat menjadi titik tolak inovasi.

Kesimpulan: Tantangan Menjadi Peluang
Kebijakan larangan membawa HP ke sekolah dan keterbatasan perangkat komputer seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda pembelajaran coding. Justru hal ini dapat menjadi momentum untuk mengenalkan konsep pemrograman secara lebih kontekstual, kreatif, dan menyenangkan melalui pendekatan unplugged. Dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dan mengedepankan esensi berpikir komputasional, guru tetap dapat membekali siswa dengan keterampilan penting abad ke-21, tanpa bergantung pada perangkat digital.
Dengan kata lain, coding bukan semata-mata soal teknologi, melainkan soal logika, kreativitas, dan kemampuan berpikir sistematis. Dan itu semua, bisa dimulai dari selembar kertas, seutas tali, dan semangat guru yang tidak pernah berhenti berinovasi.
Share:

Website Translator

Visitors