Delapan puluh tahun lalu, sebuah proklamasi dibacakan. Dua kalimat sederhana yang menggetarkan hati, disiarkan ke seantero negeri melalui mikrofon sederhana di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur. Kalimat itu tidak hanya memutus rantai penjajahan, tetapi juga mengikat jutaan jiwa pada satu janji: Indonesia merdeka, berdiri di atas kaki sendiri, berdaulat dalam menentukan nasibnya.
Bulan ini, 17 Agustus 2025, kita kembali mengibarkan bendera Merah Putih. Tiang-tiang bendera di halaman sekolah, lapangan desa, hingga gedung pencakar langit berdiri tegak, membawa pesan kebanggaan. Namun di sela-sela dentuman drum marching band, pekikan “Merdeka!”, dan hiruk pikuk lomba tujuh belasan, ada sebuah pertanyaan yang berbisik di hati: Apakah kita benar-benar merdeka?
Kemerdekaan yang Diperjuangkan dan Kemerdekaan yang Dijalani
Generasi 1945 memaknai merdeka sebagai bebas dari kekuasaan asing, bebas dari penindasan kolonial, dan berdiri sebagai bangsa yang berdaulat. Mereka mempertaruhkan nyawa, meninggalkan keluarga, mengorbankan masa depan demi satu cita-cita.
Generasi kini mewarisi kemerdekaan itu tanpa harus merasakan deru peluru atau bau mesiu. Kita lahir di tanah yang sudah diakui dunia, di negeri yang memiliki lagu kebangsaan, bendera, dan konstitusi sendiri. Tapi ironisnya, di tengah kemudahan teknologi dan kebebasan berpendapat, kita terkadang terjebak dalam bentuk penjajahan yang lebih halus—penjajahan pikiran, budaya konsumtif, dan ketergantungan pada pihak luar dalam berbagai aspek kehidupan.
Merdeka di Atas Kertas, Terjajah di Lapangan
Merdeka bukan sekadar bendera berkibar setiap Agustus, tetapi kemampuan sebuah bangsa untuk menentukan jalan hidupnya tanpa intervensi yang merugikan. Jika harga beras, teknologi strategis, bahkan informasi publik masih ditentukan oleh kepentingan luar, maka kemerdekaan itu belum sepenuhnya utuh.
Merdeka yang Membebaskan Semua Warganya
Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak, ketika hukum berdiri tegak tanpa pandang bulu, ketika perbedaan bukan alasan untuk saling membenci. Delapan puluh tahun kemerdekaan harusnya menjadi titik di mana kita tidak lagi sibuk memperdebatkan siapa yang paling “pantas” disebut patriot, melainkan bersama-sama membangun negeri tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.
Refleksi untuk Generasi Penerus
80 tahun bukan usia muda bagi sebuah bangsa. Banyak negara yang usianya lebih muda dari kita, tetapi telah melesat menjadi kekuatan besar. Refleksi ini bukan untuk menyesali perjalanan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah abadi yang terjamin selamanya. Ia adalah tugas yang harus dipelihara, dijaga, dan diperjuangkan setiap hari.
Negeri merdeka, katanya — kalimat ini seharusnya bukan nada sarkasme, tetapi sebuah pengingat bahwa kata “katanya” itu harus dihapus melalui tindakan nyata. Saatnya kita memastikan bahwa ketika anak cucu kita memperingati seratus tahun kemerdekaan, mereka tidak lagi mempertanyakan makna kata “merdeka,” karena mereka benar-benar merasakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penutup
Kemerdekaan adalah amanah. Ia bukan sekadar simbol atau seremoni tahunan. Delapan puluh tahun perjalanan bangsa ini adalah undangan bagi kita semua untuk bertanya: sudahkah kita memerdekakan hati, pikiran, dan kehidupan seluruh rakyat Indonesia? Atau jangan-jangan, kita hanya negeri merdeka… katanya?