- Pengusulan kandidat oleh instansi berwenang.
- Seleksi administratif dan substansi secara
menyeluruh.
- Pelatihan resmi bakal calon kepala sekolah,
sebagai syarat tunggal untuk memperoleh sertifikat yang diakui secara
formal.
Selamat Tinggal 'Jalur VIP': Penugasan Kepala Sekolah Kini Lebih Terbuka dan Kompetitif
Kami yang Mengantarkan, Kalian yang Duduk Nyaman
Langit yang Sama, Jalan yang Berbeda
“Ayah,” suara itu akhirnya datang.
Pak Raka menoleh. Arya berdiri dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ada ragu, ada takut, dan mungkin, sedikit keberanian yang sedang ia kumpulkan.
“Aku… aku belum yakin mau kuliah di mana. Atau bahkan… jurusan apa.”
Pak Raka diam sejenak, lalu menepuk kursi kosong di sampingnya. Arya duduk perlahan.
“Waktu seusiamu dulu,” Pak Raka memulai, “Ayah juga bingung, bahkan lebih parah. Ayah tidak punya banyak pilihan seperti kamu. Tapi, mungkin justru karena itu, Ayah tidak sempat bingung.”
Arya tertawa kecil, tapi segera kembali menunduk.
“Ayah ingin bangga padamu, Arya,” lanjut Pak Raka, “Tapi kebanggaan Ayah bukan datang dari gelar atau kampus mana kamu kuliah. Ayah bangga kalau kamu bisa jujur pada dirimu sendiri, dan berani menghadapi pilihanmu, apapun itu.”
“Tapi semua orang berharap aku jadi dokter, Yah. Bahkan Ibu sudah cerita ke semua kerabat… Aku takut mengecewakan kalian.”
Pak Raka menarik napas panjang. “Yang Ayah takutkan justru kalau kamu memilih hanya untuk menyenangkan kami, lalu menjalani hidup yang bukan milikmu.”
Sejenak, keheningan mengisi ruang antara mereka. Angin sore meniup pelan dedaunan. Pak Raka memandang langit yang mulai berpendar bintang.
“Kita memandang langit yang sama, Nak. Tapi jalan yang kita tempuh bisa berbeda. Ayah bukan ingin kamu mengikuti jejak Ayah, atau harapan siapa pun. Ayah hanya ingin kamu punya kompasmu sendiri.”
Arya menoleh, matanya berkaca. “Tapi bagaimana kalau aku salah memilih, Yah?”
“Salah memilih bukan akhir dari segalanya. Yang salah itu kalau kamu tidak pernah mencoba memilih.”
Malam itu, setelah Arya masuk ke kamarnya, Pak Raka duduk sendirian lebih lama. Ia merenung: menjadi orang tua bukan sekadar mengarahkan, tapi juga mendampingi, bahkan saat arah itu belum jelas.
Ia sadar, kadang sebagai orang tua, rasa takut kehilangan masa depan anak bisa membuatnya lupa: bahwa anaknya bukan cerminan mimpinya yang belum tercapai, melainkan benih yang akan tumbuh dengan caranya sendiri.
Pak Raka menatap langit gelap. Di sana, bintang-bintang bersinar, masing-masing dengan cahayanya sendiri. Dan ia tahu, cepat atau lambat, Arya akan menemukan sinarnya juga.
Refleksi:
Menjadi orang tua adalah perjalanan memahami, bukan mendikte. Ketika anak berada di persimpangan penting dalam hidupnya, kehadiran orang tua sebagai pendengar dan penyemangat bisa menjadi cahaya yang menuntun, bukan bayangan yang membayangi. Membiarkan anak membuat pilihannya sendiri adalah bentuk tertinggi dari kepercayaan dan cinta. Sebab pada akhirnya, bukan soal menjadi apa, tetapi menjadi siapa.
Becik Ketitik, Olo Ketoro: Cermin Integritas Guru dalam Proses Pembelajaran
Mengelola Masalah Sensitif Guru: Pendekatan Humanis dalam Kepemimpinan Sekolah
Sekolah Kuno di Era Digital: Saatnya Berbenah atau Tertinggal
- Sedikit-sedikit meeting – menunjukkan kepemimpinan dengan kemampuan literasi rendah, belum terbiasa berpikir strategis dan menuliskannya secara efektif.
- Pengumuman masih lisan – rentan dilupakan, tidak akuntabel, dan menghambat koordinasi yang rapi dan terdokumentasi.
- Kolaborasi masih via email – metode komunikasi lama yang tidak efisien, membuat pesan tercecer dan susah ditindaklanjuti.
- Iklim sekolah individualis, bukan kolaboratif – lingkungan kompetitif yang merugikan inovasi dan berbagi pengetahuan.
- Salah kaprah dalam promosi sekolah – lebih menonjolkan fasilitas ketimbang kualitas guru dan layanan pendidikan.