Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

Selamat Tinggal 'Jalur VIP': Penugasan Kepala Sekolah Kini Lebih Terbuka dan Kompetitif

Angin perubahan yang lama dinanti akhirnya tiba. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia secara resmi mengundangkan Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025, yang mengubah secara fundamental mekanisme penugasan kepala sekolah di Indonesia. Peraturan ini tak hanya mengatur teknis seleksi, tetapi juga menandai akhir dari era “jalur VIP”, di mana sertifikat Calon Kepala Sekolah (CKS) dan status Guru Penggerak menjadi akses eksklusif untuk meraih posisi kepala sekolah.
Kini, sistem pengangkatan pemimpin sekolah diarahkan pada pendekatan yang lebih terbuka dan kompetitif, membuka peluang yang sama bagi seluruh guru tanpa memandang latar belakang program yang pernah diikuti. Ini merupakan langkah penting untuk mengembalikan esensi meritokrasi dalam manajemen pendidikan.

Dari Jalur Istimewa ke Seleksi Terbuka
Sebelumnya, kepemilikan sertifikat CKS dan label Guru Penggerak merupakan “tiket emas” yang memperbesar peluang seorang guru menduduki jabatan kepala sekolah. Namun, Permendikdasmen No. 7/2025 menghapus persyaratan tersebut, dan menggantinya dengan skema seleksi dan pelatihan terstandar nasional, yang mencakup:
  1. Pengusulan kandidat oleh instansi berwenang.
  2. Seleksi administratif dan substansi secara menyeluruh.
  3. Pelatihan resmi bakal calon kepala sekolah, sebagai syarat tunggal untuk memperoleh sertifikat yang diakui secara formal.
Sertifikat pelatihan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal kini menjadi satu-satunya legitimasi resmi yang diakui dalam proses penugasan kepala sekolah. Siapa pun guru yang lulus seleksi dan pelatihan ini, berhak diusulkan untuk memimpin sekolah tanpa harus menjadi Guru Penggerak atau lulusan CKS.

Masa Jabatan Terbatas, Peluang Merata
Peraturan baru ini juga menetapkan masa jabatan kepala sekolah selama dua periode masing-masing empat tahun, dengan kemungkinan perpanjangan satu periode dalam kondisi tertentu. Aturan ini tidak hanya menjamin kesinambungan kepemimpinan, tetapi juga membuka ruang regenerasi dan mobilitas vertikal bagi guru-guru lainnya yang berpotensi.
Selain itu, dua regulasi lama resmi dicabut, yakni Permendikbudristek No. 40 Tahun 2021 dan sebagian Permendikbudristek No. 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak. Ini menegaskan bahwa aturan main telah berubah, dan semua pihak harus beradaptasi dengan sistem yang baru.

Guru Penggerak: Turun Tahta atau Ujian Nyata?
Bagi para Guru Penggerak, perubahan ini mungkin terasa seperti “turun tahta”. Gelar dan pelatihan yang sebelumnya dianggap eksklusif, kini tidak lagi menjadi keistimewaan utama dalam kontestasi kepemimpinan. Namun, sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk membuktikan kualitas secara lebih adil.
Tanpa jalur istimewa, Guru Penggerak tetap bisa bersaing melalui mekanisme yang sama dengan guru lainnya. Ini sejalan dengan semangat profesionalisme dan keadilan: bahwa kepemimpinan sekolah harus diraih karena kapabilitas, bukan karena label.

Penempatan Tugas: Pertimbangkan Jarak Tempuh dan Kesejahteraan Guru
Salah satu poin penting namun sering terabaikan dalam diskusi tentang penugasan kepala sekolah adalah keseimbangan antara lokasi penugasan dan domisili guru. Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025, meski lebih menitikberatkan pada proses seleksi dan pelatihan, juga membuka ruang untuk kebijakan daerah yang lebih manusiawi dan berkeadilan dalam hal penempatan tugas.
Idealnya, dalam proses penugasan kepala sekolah, instansi terkait baik dinas pendidikan kabupaten/kota maupun provinsi perlu mempertimbangkan kedekatan tempat tinggal guru dengan lokasi sekolah. Pertimbangan ini penting, mengingat banyak guru yang mengalami beban tambahan akibat jauhnya tempat tugas, yang berdampak pada efektivitas kerja, beban psikologis, hingga keseimbangan kehidupan pribadi dan profesional.
Dengan sistem baru yang lebih terbuka, diharapkan penugasan kepala sekolah tidak hanya mengedepankan hasil seleksi dan sertifikasi, tetapi juga faktor geografis dan keberlanjutan sosial, termasuk ketersediaan transportasi, kondisi keluarga, serta peluang kontribusi jangka panjang di komunitas setempat.

Babak Baru: Seleksi yang Lebih Sehat dan Terbuka
Dengan diberlakukannya Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025, pemerintah ingin memastikan bahwa kepala sekolah yang terpilih benar-benar melalui proses seleksi yang objektif, pelatihan yang komprehensif, dan dilahirkan dari sistem yang adil dan terbuka. Tak ada lagi jalur cepat. Tak ada lagi eksklusivitas. Yang ada hanyalah kompetisi sehat berbasis kapasitas.
Jika implementasinya berjalan konsisten, maka ini bisa menjadi tonggak baru dalam upaya reformasi tata kelola sumber daya manusia pendidikan. Harapannya, sekolah-sekolah di Indonesia akan dipimpin oleh para pemimpin yang benar-benar siap, bukan karena pernah berada di ruang program tertentu, tetapi karena memang layak secara substansi.
Share:

Kami yang Mengantarkan, Kalian yang Duduk Nyaman

Dulu, saat angan tentang kedudukan begitu menggoda, kita tampak begitu solid. Semangat kebersamaan menjadi bahan bakar perjuangan. Kita berbagi tugas, beban, bahkan urusan konsumsi, semua demi satu tujuan: mengantarkan siapa pun di antara kita untuk sampai ke posisi itu, kedudukan yang kini tampaknya hanya pantas ditempati segelintir nama.
Kala itu, idealisme begitu kental dalam setiap percakapan kita. Tidak ada yang merasa lebih penting, tidak ada yang merasa paling layak. Setiap gerak langkah disusun atas dasar kebersamaan, seolah-olah kedudukan itu adalah milik kolektif, yang akan mengangkat kita semua ketika satu dari kita berhasil. Bahkan makan siang pun kadang menjadi bagian dari rapat strategi, dan waktu pribadi dikorbankan untuk kepentingan bersama. Kami percaya, jalan yang ditempuh bersama akan mengantar kita ke puncak bersama pula. Tapi rupanya, tidak semua pendakian mengantar semua orang ke puncak yang sama.
Dengan segala pengorbanan yang tak pernah dicatat tinta, akhirnya beberapa dari kalian terpilih. Entah karena kecakapan atau karena angin politik yang lebih bersahabat. Bukan soal, walau mungkin tak sepenuhnya karena prinsip primus inter pares — yang terbaik di antara yang setara. Kami tetap mengangguk, karena saat itu, kami percaya: ketika satu dari kita naik, yang lain akan dibawa serta.
Tak ada yang mencatat siapa menyumbang apa, siapa menyokong paling banyak. Kami tidak menuntut, karena sejak awal kita bergerak bukan demi imbalan pribadi. Namun ketika nama-nama diumumkan, dan hanya beberapa yang dipanggil maju, kita bertanya dalam hati, apakah ini hasil penilaian yang adil? Tapi baiklah, mungkin inilah bagian dari dinamika yang harus kita terima. Kita tepuk tangan, kita ikut tersenyum. Sebab harapan kami sederhana: bahwa keberhasilan satu orang akan membuka jalan bagi yang lain. Bahwa kedudukan bukanlah garis akhir, melainkan titik awal untuk mengangkat mereka yang telah berjuang bersamamu.
Namun hari ini, kami hanya bisa menatap dari kejauhan. Menyaksikan kalian nyaman pada posisi yang dahulu kita perjuangkan bersama. Kami masih berdiri di titik awal, namun kali ini tanpa suara, tanpa ajakan rapat, dan tanpa secangkir kopi solidaritas. Tidak, tidak ada perjanjian hitam di atas putih bahwa kami akan mendapatkan giliran, tapi setidaknya kami pernah berharap akan adanya balas budi yang bermutu demi mengenang kebersamaan.
Keheningan hari ini menjadi kontras yang menyakitkan dibanding riuhnya masa lalu. Dahulu setiap langkah kalian melibatkan kami. Kini, bahkan menyebut nama kami pun terasa asing. Kami tahu, tidak ada kontrak atau janji tertulis. Kami tidak meminta jabatan. Kami hanya berharap akan tetap dianggap sebagai bagian dari lingkaran perjuangan. Tapi ketika hubungan menjadi semata-mata administratif dan formal, maka kebersamaan itu perlahan menjadi cerita nostalgia yang tak lagi relevan. Kalian tumbuh dalam lingkungan baru, sementara kami membeku dalam kenangan.
Sayangnya, regulasi baru datang layaknya kabut pekat. Segala kepastian menjadi abu-abu. Harapan kami, yang dulu disemai bersama, kini menggantung entah pada siapa. Dalam keraguan yang terus tumbuh, kami pun bertanya — bukan meminta, hanya bertanya ke mana perginya kalian yang dulu kami dorong maju?
Dunia memang bergerak. Aturan berubah. Regulasi baru muncul dengan wajah dingin dan pasal-pasal kaku. Tapi yang membuat sesak bukanlah aturan itu sendiri, melainkan sikap kalian terhadap perubahan itu. Di mana suara kalian yang dulu lantang menyuarakan keadilan? Apakah regulasi juga telah mengubah cara kalian melihat kami? Atau mungkin, sejak awal, kebersamaan hanyalah alat menuju tujuan yang kini telah tercapai? Kami bertanya bukan karena ingin diberi jabatan, tapi karena kami kehilangan arah tanpa suara kalian yang dulu pernah bersumpah akan berjalan bersama.
Semoga saja, saat ini kalian masih menyisakan ruang kecil di hati untuk mengingat: jalan kalian dulu tidak kalian tapaki sendiri. Ada kami, yang diam-diam mulai menyadari, mungkin posisi itu memang bukan untuk kami yang hanya bisa mendorong.
Kami tidak menyimpan dendam, hanya kenangan. Dalam kenangan itu, kami masih melihat wajah kalian yang dulu berdiri sejajar dengan kami. Kami harap, setidaknya di tengah hiruk-pikuk tanggung jawab dan protokol, masih ada satu momen hening ketika kalian ingat akan siapa yang dulu menemani kalian di lorong-lorong perjuangan. Bukan karena kami ingin dikenang sebagai pahlawan, tetapi karena kami ingin memastikan bahwa kebersamaan yang dulu bukan ilusi. Bahwa kedudukan yang kini kalian genggam tidak membuat kalian lupa pada lantai tempat kalian dulu berpijak, lantai yang kami jaga agar kalian tidak tergelincir.
Share:

Langit yang Sama, Jalan yang Berbeda

Di suatu sore yang teduh, Pak Raka duduk di beranda rumah, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Di tangannya, secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Di dalam rumah, suara langkah kaki anaknya, Arya, terdengar mondar-mandir dari kamar ke ruang makan, lalu kembali lagi. Sudah seminggu ini, Arya terlihat gelisah.

“Ayah,” suara itu akhirnya datang.

Pak Raka menoleh. Arya berdiri dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ada ragu, ada takut, dan mungkin, sedikit keberanian yang sedang ia kumpulkan.

“Aku… aku belum yakin mau kuliah di mana. Atau bahkan… jurusan apa.”

Pak Raka diam sejenak, lalu menepuk kursi kosong di sampingnya. Arya duduk perlahan.

“Waktu seusiamu dulu,” Pak Raka memulai, “Ayah juga bingung, bahkan lebih parah. Ayah tidak punya banyak pilihan seperti kamu. Tapi, mungkin justru karena itu, Ayah tidak sempat bingung.”

Arya tertawa kecil, tapi segera kembali menunduk.

“Ayah ingin bangga padamu, Arya,” lanjut Pak Raka, “Tapi kebanggaan Ayah bukan datang dari gelar atau kampus mana kamu kuliah. Ayah bangga kalau kamu bisa jujur pada dirimu sendiri, dan berani menghadapi pilihanmu, apapun itu.”

“Tapi semua orang berharap aku jadi dokter, Yah. Bahkan Ibu sudah cerita ke semua kerabat… Aku takut mengecewakan kalian.”

Pak Raka menarik napas panjang. “Yang Ayah takutkan justru kalau kamu memilih hanya untuk menyenangkan kami, lalu menjalani hidup yang bukan milikmu.”

Sejenak, keheningan mengisi ruang antara mereka. Angin sore meniup pelan dedaunan. Pak Raka memandang langit yang mulai berpendar bintang.

“Kita memandang langit yang sama, Nak. Tapi jalan yang kita tempuh bisa berbeda. Ayah bukan ingin kamu mengikuti jejak Ayah, atau harapan siapa pun. Ayah hanya ingin kamu punya kompasmu sendiri.”

Arya menoleh, matanya berkaca. “Tapi bagaimana kalau aku salah memilih, Yah?”

“Salah memilih bukan akhir dari segalanya. Yang salah itu kalau kamu tidak pernah mencoba memilih.”

Malam itu, setelah Arya masuk ke kamarnya, Pak Raka duduk sendirian lebih lama. Ia merenung: menjadi orang tua bukan sekadar mengarahkan, tapi juga mendampingi, bahkan saat arah itu belum jelas.

Ia sadar, kadang sebagai orang tua, rasa takut kehilangan masa depan anak bisa membuatnya lupa: bahwa anaknya bukan cerminan mimpinya yang belum tercapai, melainkan benih yang akan tumbuh dengan caranya sendiri.

Pak Raka menatap langit gelap. Di sana, bintang-bintang bersinar, masing-masing dengan cahayanya sendiri. Dan ia tahu, cepat atau lambat, Arya akan menemukan sinarnya juga.


Refleksi:

Menjadi orang tua adalah perjalanan memahami, bukan mendikte. Ketika anak berada di persimpangan penting dalam hidupnya, kehadiran orang tua sebagai pendengar dan penyemangat bisa menjadi cahaya yang menuntun, bukan bayangan yang membayangi. Membiarkan anak membuat pilihannya sendiri adalah bentuk tertinggi dari kepercayaan dan cinta. Sebab pada akhirnya, bukan soal menjadi apa, tetapi menjadi siapa.

Share:

Becik Ketitik, Olo Ketoro: Cermin Integritas Guru dalam Proses Pembelajaran

Dalam dunia pendidikan, guru bukan hanya sekadar penyampai materi pelajaran, melainkan juga panutan dalam nilai-nilai kehidupan. Peribahasa Jawa "Becik ketitik, olo ketoro" memberikan gambaran yang sangat relevan terhadap tanggung jawab moral seorang pendidik. Artinya, segala kebaikan maupun keburukan yang dilakukan akan terlihat pada akhirnya. Dalam konteks pembelajaran, ini menjadi cermin integritas guru yang tak bisa disembunyikan dari peserta didik maupun lingkungan sekolah.

Keteladanan, Bukan Sekadar Teori
Pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam buku atau papan tulis, tetapi juga dalam sikap, perilaku, dan kebiasaan guru sehari-hari. Seorang guru yang jujur, disiplin, dan penuh semangat akan secara tidak langsung mengajarkan nilai-nilai itu kepada siswanya. Sebaliknya, guru yang tidak konsisten, sering terlambat, atau acuh terhadap tanggung jawabnya, akan menunjukkan contoh buruk yang cepat atau lambat akan "ketoro" (tampak) juga.
Anak-anak adalah pengamat yang tajam. Mereka mampu membedakan guru yang tulus dalam mengajar dengan guru yang hanya menjalankan rutinitas. Di sinilah makna "becik ketitik" mengambil tempat guru yang berdedikasi dan bersungguh-sungguh akan dikenang bukan hanya karena materi yang diajarkannya, tetapi juga karena ketulusannya yang terlihat nyata.

Profesionalisme dan Konsistensi
Dalam era modern ini, tantangan guru semakin kompleks. Namun demikian, prinsip dari peribahasa ini tetap relevan: kualitas sejati akan tampak dari proses yang dijalani. Guru yang profesional tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tapi juga menjaga etika, menjaga hubungan yang sehat dengan murid, dan konsisten dalam mendidik.
Kebaikan yang ditanamkan dalam setiap interaksi, dalam setiap penguatan positif, dalam setiap waktu yang diluangkan untuk memahami siswa yang kesulitan semuanya akan menjadi jejak yang dikenali. Begitu pula sebaliknya, ketidakpedulian atau perlakuan tidak adil akan membekas dan mencerminkan kualitas pembelajaran yang rendah.

Pendidikan Adalah Investasi Nilai
Peribahasa "Becik ketitik, olo ketoro" mengajarkan bahwa hasil dari proses pendidikan tidak selalu tampak secara instan. Sama seperti petani yang menanam benih dan harus menunggu waktu panen, guru juga menanam nilai-nilai dalam diri siswa yang akan berkembang seiring waktu. Nilai-nilai itu akan muncul dalam kehidupan nyata siswa kelak: bagaimana mereka bersikap, mengambil keputusan, dan memandang kehidupan.

Penutup
Dalam dunia pendidikan, kebaikan yang dilakukan seorang guru bukanlah sesuatu yang akan hilang begitu saja. Justru ia akan menjadi warisan yang abadi dalam ingatan dan karakter siswa. Sebaliknya, ketidaktulusan dan ketidakjujuran akan terbaca dan meninggalkan dampak negatif.
Karenanya, mari kita jadikan peribahasa "Becik ketitik, olo ketoro" sebagai pengingat bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bagian dari proses pendidikan yang bermakna. Guru bukan hanya menyampaikan ilmu, tapi juga menanamkan nilai kehidupan yang akan terus tumbuh dan terlihat baik ataupun buruk.
Share:

Mengelola Masalah Sensitif Guru: Pendekatan Humanis dalam Kepemimpinan Sekolah

Dalam dinamika dunia pendidikan, pemimpin sekolah tidak hanya bertanggung jawab pada aspek akademik dan administratif, tetapi juga pada pengelolaan sumber daya manusia yang kompleks, terutama para guru. Salah satu tantangan besar adalah menangani masalah-masalah sensitif yang dialami guru, yang jika tidak ditangani dengan bijaksana dapat berdampak langsung pada kualitas pendidikan dan iklim sekolah.
Menurut Hampton A. (2025) dalam bukunya How to Run a School: A Manual for School Leadership, terdapat lima masalah sensitif utama yang umum dihadapi guru. Buku tersebut juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan komunikasi terbuka, empati, dan keadilan dalam mengelola masalah-masalah tersebut. Tulisan ini mengupas lebih dalam tentang lima masalah itu serta strategi penanganannya berdasarkan prinsip kepemimpinan humanis.

Lima Masalah Sensitif Guru yang Perlu Diwaspadai

1. Performa Menurun (Declining Performance)
Guru yang sebelumnya berkinerja baik bisa mengalami penurunan performa karena berbagai alasan: kelelahan, tekanan keluarga, burnout atau kurangnya motivasi. Penurunan ini tampak dalam kualitas pengajaran, kedisiplinan, atau inisiatif profesional. Pemimpin sekolah harus peka terhadap perubahan ini dan menghindari respon yang menghakimi.

2. Mengabaikan Aturan (Rule Avoidance)
Beberapa guru mulai tidak konsisten mengikuti kebijakan atau prosedur sekolah, seperti menghindari pelaporan, tidak hadir rapat, atau tidak mengisi administrasi. Bila tidak ditangani dengan tepat, ini bisa merusak kedisiplinan institusi secara keseluruhan.

3. Isu Personal (Personal Issues)
Masalah kesehatan, konflik keluarga, hingga kesulitan finansial bisa membebani guru secara emosional. Meskipun masalah ini sifatnya pribadi, dampaknya bisa menurunkan kinerja profesional. Oleh karena itu, dukungan psikososial dari pimpinan sekolah menjadi sangat penting.

4. Konflik Internal (Internal Conflicts)
Konflik antar guru atau antara guru dan staf dapat menciptakan ketegangan dan menurunkan semangat kerja. Jika dibiarkan berlarut, konflik ini akan menciptakan friksi dalam tim dan mengganggu iklim kolaboratif.

5. Ketidakcocokan (Mismatch or Misalignment)
Ketika nilai atau gaya mengajar seorang guru tidak sesuai dengan visi dan budaya sekolah, maka terjadi ketidakselarasan yang bisa mengganggu sinergi. Ketidakcocokan ini harus segera diidentifikasi untuk dicarikan solusi yang konstruktif, seperti pelatihan atau redistribusi peran.

Strategi Humanis dalam Menangani Masalah Sensitif
Untuk mengatasi kelima masalah tersebut, Hampton mengajukan tiga strategi kunci yang seharusnya menjadi landasan utama dalam kepemimpinan sekolah:

1. Komunikasi Terbuka
Komunikasi yang jujur, langsung, dan penuh rasa hormat adalah kunci pertama. Kepala sekolah perlu membuka ruang dialog personal tanpa menghakimi. Ini memungkinkan guru merasa aman untuk berbagi dan terbuka terhadap solusi.

"Masalah tidak bisa diselesaikan jika tidak pernah dibicarakan."
— Hampton A. (2025)

2. Pendekatan Berbasis Empati
Pemimpin sekolah yang mampu menempatkan dirinya pada posisi guru akan lebih memahami konteks di balik sebuah masalah. Pendekatan empatik mendorong respon yang lebih manusiawi dan solutif, terutama untuk isu-isu personal dan emosional.
Contoh nyata: memberi fleksibilitas jadwal kepada guru yang sedang mengalami beban keluarga, sambil tetap menjaga profesionalitas.

3. Pengambilan Keputusan yang Adil
Ketegasan tetap diperlukan, namun harus dilandasi oleh prinsip keadilan dan transparansi. Kepala sekolah perlu menghindari favoritisme dan bersikap objektif berdasarkan bukti, bukan asumsi.

"People will forgive a hard decision. They will not forgive an unfair one."
— Hampton A. (2025)

Membangun Budaya Sekolah yang Responsif dan Manusiawi
Ketika ketiga prinsip tersebut diterapkan secara konsisten, sekolah akan berkembang menjadi lingkungan kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga empatik dan suportif. Guru akan merasa dihargai dan didengarkan, sehingga mereka lebih terbuka untuk berubah, berkembang, dan tetap berkontribusi secara positif.

Kesimpulan
Mengelola masalah sensitif guru bukan semata soal prosedur, tetapi soal kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Lima tantangan utama; performa menurun, pengabaian aturan, isu personal, konflik internal, dan ketidakcocokan, menuntut kepala sekolah untuk mengedepankan komunikasi terbuka, empati, dan keadilan.
Dalam pandangan Hampton, pemimpin sekolah tidak cukup menjadi manajer, tetapi juga pemimpin yang manusiawi. Karena pada akhirnya, sekolah yang hebat dibangun oleh orang-orang yang merasa dihargai dan didukung.

Referensi:
Hampton, A. (2025). How to Run a School: A Manual for School Leadership. London: Education Reform Press.
Share:

Sekolah Kuno di Era Digital: Saatnya Berbenah atau Tertinggal

Tulisan Ryan. O tentang 5 ciri sekolah kuno di tahun 2025 yang ramai diperbincangkan di salah satu media sosial merupakan cerminan jujur tentang kondisi sebagian institusi pendidikan kita yang masih berkutat dengan pola kerja lama di tengah kemajuan zaman yang serba digital dan kolaboratif. Ryan menyebutkan lima ciri utama sekolah yang masih terjebak dalam cara lama:
  1. Sedikit-sedikit meeting – menunjukkan kepemimpinan dengan kemampuan literasi rendah, belum terbiasa berpikir strategis dan menuliskannya secara efektif.
  2. Pengumuman masih lisan – rentan dilupakan, tidak akuntabel, dan menghambat koordinasi yang rapi dan terdokumentasi.
  3. Kolaborasi masih via email – metode komunikasi lama yang tidak efisien, membuat pesan tercecer dan susah ditindaklanjuti.
  4. Iklim sekolah individualis, bukan kolaboratif – lingkungan kompetitif yang merugikan inovasi dan berbagi pengetahuan.
  5. Salah kaprah dalam promosi sekolah – lebih menonjolkan fasilitas ketimbang kualitas guru dan layanan pendidikan.

Sekolah Harus Berani Bertransformasi
Saya sepakat bahwa kelima poin tersebut mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi banyak sekolah di era sekarang. Ini bukan sekadar kritik, tetapi cermin yang menunjukkan bahwa jika kita ingin menciptakan pendidikan masa depan, maka kita harus berani meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak lagi relevan.

1. Budaya Meeting yang Tidak Efektif
Rapat yang terlalu sering dan tidak produktif menjadi indikator bahwa organisasi belum mengembangkan budaya komunikasi yang sehat dan efisien. Dalam organisasi pembelajar, seorang pemimpin seharusnya mampu mengkomunikasikan ide dan arahan secara tertulis, jelas, dan sistematis. Dengan membiasakan komunikasi tertulis, kita tidak hanya mengefektifkan waktu, tetapi juga melatih berpikir kritis dan strategis. Setiap guru dan tenaga kependidikan pun terdorong untuk menjadi pribadi yang mandiri, tidak selalu harus hadir dalam rapat untuk memahami arah kebijakan.

2. Dominasi Komunikasi Lisan
Mengandalkan pengumuman lisan dalam koordinasi internal sekolah memang praktis, tetapi berisiko tinggi. Sering kali informasi terdistorsi, terlupa, atau bahkan tidak sampai ke pihak yang seharusnya menerima. Komunikasi tertulis—melalui surat resmi, grup kerja digital, atau sistem manajemen informasi sekolah—jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ini juga menciptakan budaya akuntabilitas yang kuat, di mana setiap orang tahu apa tugasnya, kapan tenggat waktunya, dan kepada siapa harus bertanggung jawab.

3. Kolaborasi Lewat Email? Sudah Ketinggalan Zaman
Email masih relevan, tetapi tidak lagi ideal sebagai sarana utama kolaborasi dinamis. Banyak platform digital seperti Google Workspace, Microsoft Teams, Notion, dan Trello telah menyediakan fitur yang jauh lebih efektif untuk kerja tim, pembagian tugas, pelacakan progres, dan diskusi ide. Sekolah yang masih mengandalkan email untuk seluruh koordinasi internal justru menyulitkan diri sendiri. Efektivitas kerja sangat tergantung pada kemudahan akses informasi dan kecepatan merespons, yang tidak bisa dipenuhi oleh email secara optimal.

4. Iklim Individualis Menghambat Inovasi
Budaya individualisme dalam sekolah biasanya lahir dari sistem yang terlalu menekankan kompetisi pribadi dan pencitraan. Dalam lingkungan semacam ini, kolaborasi, transparansi, dan saling berbagi informasi menjadi barang langka. Padahal, inovasi dalam pendidikan hanya bisa tumbuh dalam atmosfer yang suportif, terbuka, dan mendorong eksperimen bersama. Sekolah perlu menciptakan ruang kolaboratif yang mendorong guru untuk berbagi praktik baik, melakukan aksi reflektif bersama, dan saling mendukung dalam pengembangan kompetensi.

5. Promosi Sekolah yang Salah Arah
Banyak sekolah masih menonjolkan gedung baru, ruang ber-AC, atau perangkat canggih dalam promosi mereka. Padahal, esensi pendidikan bukan pada sarana fisik, tetapi pada kualitas hubungan antara guru dan siswa, serta proses pembelajaran yang bermakna. Sekolah yang bijak adalah sekolah yang berani menampilkan kualitas manusianya—guru yang inspiratif, pembelajaran yang berdampak, dan komunitas belajar yang tumbuh bersama. Tanpa guru yang berkualitas, fasilitas secanggih apapun akan menjadi benda mati.

Penutup: Refleksi dan Aksi Nyata
Tulisan Ryan. O bukan sekadar sindiran, tetapi alarm pengingat bahwa perubahan zaman harus direspon dengan perubahan cara berpikir dan cara kerja. Sekolah tidak bisa lagi dikelola dengan model manajemen lama yang tertutup, hierarkis, dan statis. Kita membutuhkan sekolah yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis pada nilai-nilai profesionalisme dan literasi digital.
Membenahi budaya organisasi di sekolah bukan hal mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Dimulai dari keberanian pemimpin untuk mengevaluasi diri, membangun komunikasi yang sehat, dan menciptakan ruang kolaboratif yang mendorong pertumbuhan semua elemen sekolah.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Mari bergerak bersama menuju sekolah masa depan yang tidak kuno, tetapi maju, manusiawi, dan bermakna.
Share:

Lima Teknik Manajemen Kelas agar Murid Tenang dan Fokus Saat Belajar

Mengelola kelas bukan sekadar menjaga ketertiban, tetapi juga menciptakan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan, dan penuh makna. Sebagai guru, kemampuan membimbing murid agar tetap tenang dan fokus selama proses pembelajaran adalah kunci kesuksesan kegiatan belajar dan mengajar. Berikut lima teknik manajemen kelas yang sederhana namun sangat efektif dalam membantu guru menciptakan kelas yang tertib tanpa harus bersikap otoriter.

1. One Voice Only: Satu Suara dalam Satu Waktu
Teknik ini mengajarkan disiplin komunikasi dan rasa saling menghargai. Guru bersama murid membuat kesepakatan bahwa dalam satu waktu, hanya satu orang yang boleh berbicara, baik guru maupun murid. Ketika guru menjelaskan, murid mendengarkan. Saat murid menyampaikan pendapat, yang lain pun memberi perhatian.
Konsep “One Voice Only” bukan hanya membuat suasana kelas lebih tenang, tetapi juga menanamkan nilai demokrasi dan etika berbicara. Dengan kebiasaan ini, murid belajar bahwa setiap suara memiliki nilai, dan setiap orang berhak didengarkan.

2. Hand Clapping Rhythm: Irama Tepuk Tangan sebagai Sinyal Pengendali
Mengatur perhatian murid bisa menjadi tantangan, terutama saat mereka terlalu bersemangat atau gaduh. Teknik irama tepuk tangan menjadi solusi praktis dan menyenangkan. Guru membuat pola tepuk tangan tertentu, misalnya satu kali tepuk sedang, dua kali cepat, dan tiga kali sangat cepat, lalu murid diminta menirukannya sebagai sinyal untuk berhenti berbicara dan fokus kembali.
Teknik ini menciptakan suasana belajar yang interaktif dan memberi ruang bagi murid untuk terlibat secara fisik sekaligus emosional dalam pengaturan ritme kelas. Mereka merasa diajak, bukan diperintah.

3. Time Countdown: Hitung Mundur untuk Meningkatkan Kesiapan
Saat akan berpindah ke aktivitas baru atau menjalankan instruksi, guru bisa menggunakan metode hitung mundur. Misalnya, “Dalam sepuluh detik, semua sudah duduk rapi dan membuka buku.” Hitungan mundur (10, 9, 8...) tidak hanya menarik perhatian murid, tetapi juga melatih kemampuan mereka mengatur waktu dan bergerak secara terorganisir. Selain meningkatkan efisiensi waktu, teknik ini memberikan struktur dalam proses transisi antarkegiatan yang sering kali menjadi momen paling rawan gangguan dalam kelas.

4. Tidy Up and Sit Properly: Bereskan Diri, Tenangkan Hati
Menanamkan kebiasaan merapikan alat tulis, meja, dan lingkungan sekitar sebelum atau sesudah belajar bisa berdampak besar terhadap ketenangan suasana kelas. Murid diajak untuk “beres-beres” sebagai bagian dari ritual belajar. Setelah itu, mereka diminta duduk dengan tenang dan posisi tubuh yang baik.
Kegiatan ini membantu menanamkan rasa tanggung jawab terhadap kebersihan dan kerapian. Lebih dari itu, tindakan fisik membereskan barang ternyata juga memberi efek menenangkan pada psikologis murid, membuat mereka lebih siap menyerap pelajaran.

5. Say Thank You: Apresiasi yang Menyentuh Hati
Kata-kata sederhana seperti “Terima kasih, Andri sudah duduk tenang” memiliki kekuatan besar. Mengucapkan terima kasih sambil menyebutkan nama murid secara spesifik adalah bentuk apresiasi positif yang mampu memperkuat perilaku baik.
Dengan membiasakan ucapan terima kasih, guru membangun budaya saling menghargai dan memperkuat hubungan emosional antara guru dan murid. Murid pun merasa dihargai dan lebih termotivasi untuk menjaga perilaku positif dalam belajar.

Penutup: Membentuk Kelas yang Tenang dan Bermakna
Manajemen kelas bukan semata-mata soal menjaga ketertiban, melainkan tentang membangun suasana yang memungkinkan setiap murid merasa nyaman, didengar, dan dihargai. Kelima teknik di atas merupakan langkah sederhana namun ampuh dalam menumbuhkan kedisiplinan tanpa paksaan.
Dengan konsistensi, kreativitas, dan sentuhan empati, guru dapat menciptakan ruang belajar yang tak hanya tenang, tetapi juga penuh makna dan menyenangkan. Karena pada akhirnya, murid yang tenang bukan hanya siap menerima pelajaran, tapi juga tumbuh menjadi pribadi yang sadar, tertib, dan menghargai orang lain.
Share:

Website Translator

Blog Archive

Visitors