Tulisan Ryan. O tentang 5 ciri sekolah kuno di tahun 2025 yang ramai diperbincangkan di salah satu media sosial merupakan cerminan jujur tentang kondisi sebagian institusi pendidikan kita yang masih berkutat dengan pola kerja lama di tengah kemajuan zaman yang serba digital dan kolaboratif. Ryan menyebutkan lima ciri utama sekolah yang masih terjebak dalam cara lama:
- Sedikit-sedikit meeting – menunjukkan kepemimpinan dengan kemampuan literasi rendah, belum terbiasa berpikir strategis dan menuliskannya secara efektif.
- Pengumuman masih lisan – rentan dilupakan, tidak akuntabel, dan menghambat koordinasi yang rapi dan terdokumentasi.
- Kolaborasi masih via email – metode komunikasi lama yang tidak efisien, membuat pesan tercecer dan susah ditindaklanjuti.
- Iklim sekolah individualis, bukan kolaboratif – lingkungan kompetitif yang merugikan inovasi dan berbagi pengetahuan.
- Salah kaprah dalam promosi sekolah – lebih menonjolkan fasilitas ketimbang kualitas guru dan layanan pendidikan.
Sekolah Harus Berani Bertransformasi
Saya sepakat bahwa kelima poin tersebut mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi banyak sekolah di era sekarang. Ini bukan sekadar kritik, tetapi cermin yang menunjukkan bahwa jika kita ingin menciptakan pendidikan masa depan, maka kita harus berani meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak lagi relevan.
1. Budaya Meeting yang Tidak Efektif
Rapat yang terlalu sering dan tidak produktif menjadi indikator bahwa organisasi belum mengembangkan budaya komunikasi yang sehat dan efisien. Dalam organisasi pembelajar, seorang pemimpin seharusnya mampu mengkomunikasikan ide dan arahan secara tertulis, jelas, dan sistematis. Dengan membiasakan komunikasi tertulis, kita tidak hanya mengefektifkan waktu, tetapi juga melatih berpikir kritis dan strategis. Setiap guru dan tenaga kependidikan pun terdorong untuk menjadi pribadi yang mandiri, tidak selalu harus hadir dalam rapat untuk memahami arah kebijakan.
2. Dominasi Komunikasi Lisan
Mengandalkan pengumuman lisan dalam koordinasi internal sekolah memang praktis, tetapi berisiko tinggi. Sering kali informasi terdistorsi, terlupa, atau bahkan tidak sampai ke pihak yang seharusnya menerima. Komunikasi tertulis—melalui surat resmi, grup kerja digital, atau sistem manajemen informasi sekolah—jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ini juga menciptakan budaya akuntabilitas yang kuat, di mana setiap orang tahu apa tugasnya, kapan tenggat waktunya, dan kepada siapa harus bertanggung jawab.
3. Kolaborasi Lewat Email? Sudah Ketinggalan Zaman
Email masih relevan, tetapi tidak lagi ideal sebagai sarana utama kolaborasi dinamis. Banyak platform digital seperti Google Workspace, Microsoft Teams, Notion, dan Trello telah menyediakan fitur yang jauh lebih efektif untuk kerja tim, pembagian tugas, pelacakan progres, dan diskusi ide. Sekolah yang masih mengandalkan email untuk seluruh koordinasi internal justru menyulitkan diri sendiri. Efektivitas kerja sangat tergantung pada kemudahan akses informasi dan kecepatan merespons, yang tidak bisa dipenuhi oleh email secara optimal.
4. Iklim Individualis Menghambat Inovasi
Budaya individualisme dalam sekolah biasanya lahir dari sistem yang terlalu menekankan kompetisi pribadi dan pencitraan. Dalam lingkungan semacam ini, kolaborasi, transparansi, dan saling berbagi informasi menjadi barang langka. Padahal, inovasi dalam pendidikan hanya bisa tumbuh dalam atmosfer yang suportif, terbuka, dan mendorong eksperimen bersama. Sekolah perlu menciptakan ruang kolaboratif yang mendorong guru untuk berbagi praktik baik, melakukan aksi reflektif bersama, dan saling mendukung dalam pengembangan kompetensi.
5. Promosi Sekolah yang Salah Arah
Banyak sekolah masih menonjolkan gedung baru, ruang ber-AC, atau perangkat canggih dalam promosi mereka. Padahal, esensi pendidikan bukan pada sarana fisik, tetapi pada kualitas hubungan antara guru dan siswa, serta proses pembelajaran yang bermakna. Sekolah yang bijak adalah sekolah yang berani menampilkan kualitas manusianya—guru yang inspiratif, pembelajaran yang berdampak, dan komunitas belajar yang tumbuh bersama. Tanpa guru yang berkualitas, fasilitas secanggih apapun akan menjadi benda mati.
Penutup: Refleksi dan Aksi Nyata
Tulisan Ryan. O bukan sekadar sindiran, tetapi alarm pengingat bahwa perubahan zaman harus direspon dengan perubahan cara berpikir dan cara kerja. Sekolah tidak bisa lagi dikelola dengan model manajemen lama yang tertutup, hierarkis, dan statis. Kita membutuhkan sekolah yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis pada nilai-nilai profesionalisme dan literasi digital.
Membenahi budaya organisasi di sekolah bukan hal mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Dimulai dari keberanian pemimpin untuk mengevaluasi diri, membangun komunikasi yang sehat, dan menciptakan ruang kolaboratif yang mendorong pertumbuhan semua elemen sekolah.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Mari bergerak bersama menuju sekolah masa depan yang tidak kuno, tetapi maju, manusiawi, dan bermakna.