Dulu, saat angan tentang kedudukan begitu menggoda, kita tampak begitu solid. Semangat kebersamaan menjadi bahan bakar perjuangan. Kita berbagi tugas, beban, bahkan urusan konsumsi, semua demi satu tujuan: mengantarkan siapa pun di antara kita untuk sampai ke posisi itu, kedudukan yang kini tampaknya hanya pantas ditempati segelintir nama.
Kala itu, idealisme begitu kental dalam setiap percakapan kita. Tidak ada yang merasa lebih penting, tidak ada yang merasa paling layak. Setiap gerak langkah disusun atas dasar kebersamaan, seolah-olah kedudukan itu adalah milik kolektif, yang akan mengangkat kita semua ketika satu dari kita berhasil. Bahkan makan siang pun kadang menjadi bagian dari rapat strategi, dan waktu pribadi dikorbankan untuk kepentingan bersama. Kami percaya, jalan yang ditempuh bersama akan mengantar kita ke puncak bersama pula. Tapi rupanya, tidak semua pendakian mengantar semua orang ke puncak yang sama.
Dengan segala pengorbanan yang tak pernah dicatat tinta, akhirnya beberapa dari kalian terpilih. Entah karena kecakapan atau karena angin politik yang lebih bersahabat. Bukan soal, walau mungkin tak sepenuhnya karena prinsip primus inter pares — yang terbaik di antara yang setara. Kami tetap mengangguk, karena saat itu, kami percaya: ketika satu dari kita naik, yang lain akan dibawa serta.
Tak ada yang mencatat siapa menyumbang apa, siapa menyokong paling banyak. Kami tidak menuntut, karena sejak awal kita bergerak bukan demi imbalan pribadi. Namun ketika nama-nama diumumkan, dan hanya beberapa yang dipanggil maju, kita bertanya dalam hati, apakah ini hasil penilaian yang adil? Tapi baiklah, mungkin inilah bagian dari dinamika yang harus kita terima. Kita tepuk tangan, kita ikut tersenyum. Sebab harapan kami sederhana: bahwa keberhasilan satu orang akan membuka jalan bagi yang lain. Bahwa kedudukan bukanlah garis akhir, melainkan titik awal untuk mengangkat mereka yang telah berjuang bersamamu.
Namun hari ini, kami hanya bisa menatap dari kejauhan. Menyaksikan kalian nyaman pada posisi yang dahulu kita perjuangkan bersama. Kami masih berdiri di titik awal, namun kali ini tanpa suara, tanpa ajakan rapat, dan tanpa secangkir kopi solidaritas. Tidak, tidak ada perjanjian hitam di atas putih bahwa kami akan mendapatkan giliran, tapi setidaknya kami pernah berharap akan adanya balas budi yang bermutu demi mengenang kebersamaan.
Keheningan hari ini menjadi kontras yang menyakitkan dibanding riuhnya masa lalu. Dahulu setiap langkah kalian melibatkan kami. Kini, bahkan menyebut nama kami pun terasa asing. Kami tahu, tidak ada kontrak atau janji tertulis. Kami tidak meminta jabatan. Kami hanya berharap akan tetap dianggap sebagai bagian dari lingkaran perjuangan. Tapi ketika hubungan menjadi semata-mata administratif dan formal, maka kebersamaan itu perlahan menjadi cerita nostalgia yang tak lagi relevan. Kalian tumbuh dalam lingkungan baru, sementara kami membeku dalam kenangan.
Sayangnya, regulasi baru datang layaknya kabut pekat. Segala kepastian menjadi abu-abu. Harapan kami, yang dulu disemai bersama, kini menggantung entah pada siapa. Dalam keraguan yang terus tumbuh, kami pun bertanya — bukan meminta, hanya bertanya ke mana perginya kalian yang dulu kami dorong maju?
Dunia memang bergerak. Aturan berubah. Regulasi baru muncul dengan wajah dingin dan pasal-pasal kaku. Tapi yang membuat sesak bukanlah aturan itu sendiri, melainkan sikap kalian terhadap perubahan itu. Di mana suara kalian yang dulu lantang menyuarakan keadilan? Apakah regulasi juga telah mengubah cara kalian melihat kami? Atau mungkin, sejak awal, kebersamaan hanyalah alat menuju tujuan yang kini telah tercapai? Kami bertanya bukan karena ingin diberi jabatan, tapi karena kami kehilangan arah tanpa suara kalian yang dulu pernah bersumpah akan berjalan bersama.
Semoga saja, saat ini kalian masih menyisakan ruang kecil di hati untuk mengingat: jalan kalian dulu tidak kalian tapaki sendiri. Ada kami, yang diam-diam mulai menyadari, mungkin posisi itu memang bukan untuk kami yang hanya bisa mendorong.
Kami tidak menyimpan dendam, hanya kenangan. Dalam kenangan itu, kami masih melihat wajah kalian yang dulu berdiri sejajar dengan kami. Kami harap, setidaknya di tengah hiruk-pikuk tanggung jawab dan protokol, masih ada satu momen hening ketika kalian ingat akan siapa yang dulu menemani kalian di lorong-lorong perjuangan. Bukan karena kami ingin dikenang sebagai pahlawan, tetapi karena kami ingin memastikan bahwa kebersamaan yang dulu bukan ilusi. Bahwa kedudukan yang kini kalian genggam tidak membuat kalian lupa pada lantai tempat kalian dulu berpijak, lantai yang kami jaga agar kalian tidak tergelincir.