Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

Selamat Tinggal 'Jalur VIP': Penugasan Kepala Sekolah Kini Lebih Terbuka dan Kompetitif

Angin perubahan yang lama dinanti akhirnya tiba. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia secara resmi mengundangkan Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025, yang mengubah secara fundamental mekanisme penugasan kepala sekolah di Indonesia. Peraturan ini tak hanya mengatur teknis seleksi, tetapi juga menandai akhir dari era “jalur VIP”, di mana sertifikat Calon Kepala Sekolah (CKS) dan status Guru Penggerak menjadi akses eksklusif untuk meraih posisi kepala sekolah.
Kini, sistem pengangkatan pemimpin sekolah diarahkan pada pendekatan yang lebih terbuka dan kompetitif, membuka peluang yang sama bagi seluruh guru tanpa memandang latar belakang program yang pernah diikuti. Ini merupakan langkah penting untuk mengembalikan esensi meritokrasi dalam manajemen pendidikan.

Dari Jalur Istimewa ke Seleksi Terbuka
Sebelumnya, kepemilikan sertifikat CKS dan label Guru Penggerak merupakan “tiket emas” yang memperbesar peluang seorang guru menduduki jabatan kepala sekolah. Namun, Permendikdasmen No. 7/2025 menghapus persyaratan tersebut, dan menggantinya dengan skema seleksi dan pelatihan terstandar nasional, yang mencakup:
  1. Pengusulan kandidat oleh instansi berwenang.
  2. Seleksi administratif dan substansi secara menyeluruh.
  3. Pelatihan resmi bakal calon kepala sekolah, sebagai syarat tunggal untuk memperoleh sertifikat yang diakui secara formal.
Sertifikat pelatihan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal kini menjadi satu-satunya legitimasi resmi yang diakui dalam proses penugasan kepala sekolah. Siapa pun guru yang lulus seleksi dan pelatihan ini, berhak diusulkan untuk memimpin sekolah tanpa harus menjadi Guru Penggerak atau lulusan CKS.

Masa Jabatan Terbatas, Peluang Merata
Peraturan baru ini juga menetapkan masa jabatan kepala sekolah selama dua periode masing-masing empat tahun, dengan kemungkinan perpanjangan satu periode dalam kondisi tertentu. Aturan ini tidak hanya menjamin kesinambungan kepemimpinan, tetapi juga membuka ruang regenerasi dan mobilitas vertikal bagi guru-guru lainnya yang berpotensi.
Selain itu, dua regulasi lama resmi dicabut, yakni Permendikbudristek No. 40 Tahun 2021 dan sebagian Permendikbudristek No. 26 Tahun 2022 tentang Pendidikan Guru Penggerak. Ini menegaskan bahwa aturan main telah berubah, dan semua pihak harus beradaptasi dengan sistem yang baru.

Guru Penggerak: Turun Tahta atau Ujian Nyata?
Bagi para Guru Penggerak, perubahan ini mungkin terasa seperti “turun tahta”. Gelar dan pelatihan yang sebelumnya dianggap eksklusif, kini tidak lagi menjadi keistimewaan utama dalam kontestasi kepemimpinan. Namun, sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk membuktikan kualitas secara lebih adil.
Tanpa jalur istimewa, Guru Penggerak tetap bisa bersaing melalui mekanisme yang sama dengan guru lainnya. Ini sejalan dengan semangat profesionalisme dan keadilan: bahwa kepemimpinan sekolah harus diraih karena kapabilitas, bukan karena label.

Penempatan Tugas: Pertimbangkan Jarak Tempuh dan Kesejahteraan Guru
Salah satu poin penting namun sering terabaikan dalam diskusi tentang penugasan kepala sekolah adalah keseimbangan antara lokasi penugasan dan domisili guru. Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025, meski lebih menitikberatkan pada proses seleksi dan pelatihan, juga membuka ruang untuk kebijakan daerah yang lebih manusiawi dan berkeadilan dalam hal penempatan tugas.
Idealnya, dalam proses penugasan kepala sekolah, instansi terkait baik dinas pendidikan kabupaten/kota maupun provinsi perlu mempertimbangkan kedekatan tempat tinggal guru dengan lokasi sekolah. Pertimbangan ini penting, mengingat banyak guru yang mengalami beban tambahan akibat jauhnya tempat tugas, yang berdampak pada efektivitas kerja, beban psikologis, hingga keseimbangan kehidupan pribadi dan profesional.
Dengan sistem baru yang lebih terbuka, diharapkan penugasan kepala sekolah tidak hanya mengedepankan hasil seleksi dan sertifikasi, tetapi juga faktor geografis dan keberlanjutan sosial, termasuk ketersediaan transportasi, kondisi keluarga, serta peluang kontribusi jangka panjang di komunitas setempat.

Babak Baru: Seleksi yang Lebih Sehat dan Terbuka
Dengan diberlakukannya Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025, pemerintah ingin memastikan bahwa kepala sekolah yang terpilih benar-benar melalui proses seleksi yang objektif, pelatihan yang komprehensif, dan dilahirkan dari sistem yang adil dan terbuka. Tak ada lagi jalur cepat. Tak ada lagi eksklusivitas. Yang ada hanyalah kompetisi sehat berbasis kapasitas.
Jika implementasinya berjalan konsisten, maka ini bisa menjadi tonggak baru dalam upaya reformasi tata kelola sumber daya manusia pendidikan. Harapannya, sekolah-sekolah di Indonesia akan dipimpin oleh para pemimpin yang benar-benar siap, bukan karena pernah berada di ruang program tertentu, tetapi karena memang layak secara substansi.
Share:

Kami yang Mengantarkan, Kalian yang Duduk Nyaman

Dulu, saat angan tentang kedudukan begitu menggoda, kita tampak begitu solid. Semangat kebersamaan menjadi bahan bakar perjuangan. Kita berbagi tugas, beban, bahkan urusan konsumsi, semua demi satu tujuan: mengantarkan siapa pun di antara kita untuk sampai ke posisi itu, kedudukan yang kini tampaknya hanya pantas ditempati segelintir nama.
Kala itu, idealisme begitu kental dalam setiap percakapan kita. Tidak ada yang merasa lebih penting, tidak ada yang merasa paling layak. Setiap gerak langkah disusun atas dasar kebersamaan, seolah-olah kedudukan itu adalah milik kolektif, yang akan mengangkat kita semua ketika satu dari kita berhasil. Bahkan makan siang pun kadang menjadi bagian dari rapat strategi, dan waktu pribadi dikorbankan untuk kepentingan bersama. Kami percaya, jalan yang ditempuh bersama akan mengantar kita ke puncak bersama pula. Tapi rupanya, tidak semua pendakian mengantar semua orang ke puncak yang sama.
Dengan segala pengorbanan yang tak pernah dicatat tinta, akhirnya beberapa dari kalian terpilih. Entah karena kecakapan atau karena angin politik yang lebih bersahabat. Bukan soal, walau mungkin tak sepenuhnya karena prinsip primus inter pares — yang terbaik di antara yang setara. Kami tetap mengangguk, karena saat itu, kami percaya: ketika satu dari kita naik, yang lain akan dibawa serta.
Tak ada yang mencatat siapa menyumbang apa, siapa menyokong paling banyak. Kami tidak menuntut, karena sejak awal kita bergerak bukan demi imbalan pribadi. Namun ketika nama-nama diumumkan, dan hanya beberapa yang dipanggil maju, kita bertanya dalam hati, apakah ini hasil penilaian yang adil? Tapi baiklah, mungkin inilah bagian dari dinamika yang harus kita terima. Kita tepuk tangan, kita ikut tersenyum. Sebab harapan kami sederhana: bahwa keberhasilan satu orang akan membuka jalan bagi yang lain. Bahwa kedudukan bukanlah garis akhir, melainkan titik awal untuk mengangkat mereka yang telah berjuang bersamamu.
Namun hari ini, kami hanya bisa menatap dari kejauhan. Menyaksikan kalian nyaman pada posisi yang dahulu kita perjuangkan bersama. Kami masih berdiri di titik awal, namun kali ini tanpa suara, tanpa ajakan rapat, dan tanpa secangkir kopi solidaritas. Tidak, tidak ada perjanjian hitam di atas putih bahwa kami akan mendapatkan giliran, tapi setidaknya kami pernah berharap akan adanya balas budi yang bermutu demi mengenang kebersamaan.
Keheningan hari ini menjadi kontras yang menyakitkan dibanding riuhnya masa lalu. Dahulu setiap langkah kalian melibatkan kami. Kini, bahkan menyebut nama kami pun terasa asing. Kami tahu, tidak ada kontrak atau janji tertulis. Kami tidak meminta jabatan. Kami hanya berharap akan tetap dianggap sebagai bagian dari lingkaran perjuangan. Tapi ketika hubungan menjadi semata-mata administratif dan formal, maka kebersamaan itu perlahan menjadi cerita nostalgia yang tak lagi relevan. Kalian tumbuh dalam lingkungan baru, sementara kami membeku dalam kenangan.
Sayangnya, regulasi baru datang layaknya kabut pekat. Segala kepastian menjadi abu-abu. Harapan kami, yang dulu disemai bersama, kini menggantung entah pada siapa. Dalam keraguan yang terus tumbuh, kami pun bertanya — bukan meminta, hanya bertanya ke mana perginya kalian yang dulu kami dorong maju?
Dunia memang bergerak. Aturan berubah. Regulasi baru muncul dengan wajah dingin dan pasal-pasal kaku. Tapi yang membuat sesak bukanlah aturan itu sendiri, melainkan sikap kalian terhadap perubahan itu. Di mana suara kalian yang dulu lantang menyuarakan keadilan? Apakah regulasi juga telah mengubah cara kalian melihat kami? Atau mungkin, sejak awal, kebersamaan hanyalah alat menuju tujuan yang kini telah tercapai? Kami bertanya bukan karena ingin diberi jabatan, tapi karena kami kehilangan arah tanpa suara kalian yang dulu pernah bersumpah akan berjalan bersama.
Semoga saja, saat ini kalian masih menyisakan ruang kecil di hati untuk mengingat: jalan kalian dulu tidak kalian tapaki sendiri. Ada kami, yang diam-diam mulai menyadari, mungkin posisi itu memang bukan untuk kami yang hanya bisa mendorong.
Kami tidak menyimpan dendam, hanya kenangan. Dalam kenangan itu, kami masih melihat wajah kalian yang dulu berdiri sejajar dengan kami. Kami harap, setidaknya di tengah hiruk-pikuk tanggung jawab dan protokol, masih ada satu momen hening ketika kalian ingat akan siapa yang dulu menemani kalian di lorong-lorong perjuangan. Bukan karena kami ingin dikenang sebagai pahlawan, tetapi karena kami ingin memastikan bahwa kebersamaan yang dulu bukan ilusi. Bahwa kedudukan yang kini kalian genggam tidak membuat kalian lupa pada lantai tempat kalian dulu berpijak, lantai yang kami jaga agar kalian tidak tergelincir.
Share:

Langit yang Sama, Jalan yang Berbeda

Di suatu sore yang teduh, Pak Raka duduk di beranda rumah, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Di tangannya, secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Di dalam rumah, suara langkah kaki anaknya, Arya, terdengar mondar-mandir dari kamar ke ruang makan, lalu kembali lagi. Sudah seminggu ini, Arya terlihat gelisah.

“Ayah,” suara itu akhirnya datang.

Pak Raka menoleh. Arya berdiri dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Ada ragu, ada takut, dan mungkin, sedikit keberanian yang sedang ia kumpulkan.

“Aku… aku belum yakin mau kuliah di mana. Atau bahkan… jurusan apa.”

Pak Raka diam sejenak, lalu menepuk kursi kosong di sampingnya. Arya duduk perlahan.

“Waktu seusiamu dulu,” Pak Raka memulai, “Ayah juga bingung, bahkan lebih parah. Ayah tidak punya banyak pilihan seperti kamu. Tapi, mungkin justru karena itu, Ayah tidak sempat bingung.”

Arya tertawa kecil, tapi segera kembali menunduk.

“Ayah ingin bangga padamu, Arya,” lanjut Pak Raka, “Tapi kebanggaan Ayah bukan datang dari gelar atau kampus mana kamu kuliah. Ayah bangga kalau kamu bisa jujur pada dirimu sendiri, dan berani menghadapi pilihanmu, apapun itu.”

“Tapi semua orang berharap aku jadi dokter, Yah. Bahkan Ibu sudah cerita ke semua kerabat… Aku takut mengecewakan kalian.”

Pak Raka menarik napas panjang. “Yang Ayah takutkan justru kalau kamu memilih hanya untuk menyenangkan kami, lalu menjalani hidup yang bukan milikmu.”

Sejenak, keheningan mengisi ruang antara mereka. Angin sore meniup pelan dedaunan. Pak Raka memandang langit yang mulai berpendar bintang.

“Kita memandang langit yang sama, Nak. Tapi jalan yang kita tempuh bisa berbeda. Ayah bukan ingin kamu mengikuti jejak Ayah, atau harapan siapa pun. Ayah hanya ingin kamu punya kompasmu sendiri.”

Arya menoleh, matanya berkaca. “Tapi bagaimana kalau aku salah memilih, Yah?”

“Salah memilih bukan akhir dari segalanya. Yang salah itu kalau kamu tidak pernah mencoba memilih.”

Malam itu, setelah Arya masuk ke kamarnya, Pak Raka duduk sendirian lebih lama. Ia merenung: menjadi orang tua bukan sekadar mengarahkan, tapi juga mendampingi, bahkan saat arah itu belum jelas.

Ia sadar, kadang sebagai orang tua, rasa takut kehilangan masa depan anak bisa membuatnya lupa: bahwa anaknya bukan cerminan mimpinya yang belum tercapai, melainkan benih yang akan tumbuh dengan caranya sendiri.

Pak Raka menatap langit gelap. Di sana, bintang-bintang bersinar, masing-masing dengan cahayanya sendiri. Dan ia tahu, cepat atau lambat, Arya akan menemukan sinarnya juga.


Refleksi:

Menjadi orang tua adalah perjalanan memahami, bukan mendikte. Ketika anak berada di persimpangan penting dalam hidupnya, kehadiran orang tua sebagai pendengar dan penyemangat bisa menjadi cahaya yang menuntun, bukan bayangan yang membayangi. Membiarkan anak membuat pilihannya sendiri adalah bentuk tertinggi dari kepercayaan dan cinta. Sebab pada akhirnya, bukan soal menjadi apa, tetapi menjadi siapa.

Share:

Website Translator

Blog Archive

Visitors