Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

Becik Ketitik, Olo Ketoro: Cermin Integritas Guru dalam Proses Pembelajaran

Dalam dunia pendidikan, guru bukan hanya sekadar penyampai materi pelajaran, melainkan juga panutan dalam nilai-nilai kehidupan. Peribahasa Jawa "Becik ketitik, olo ketoro" memberikan gambaran yang sangat relevan terhadap tanggung jawab moral seorang pendidik. Artinya, segala kebaikan maupun keburukan yang dilakukan akan terlihat pada akhirnya. Dalam konteks pembelajaran, ini menjadi cermin integritas guru yang tak bisa disembunyikan dari peserta didik maupun lingkungan sekolah.

Keteladanan, Bukan Sekadar Teori
Pembelajaran tidak hanya terjadi di dalam buku atau papan tulis, tetapi juga dalam sikap, perilaku, dan kebiasaan guru sehari-hari. Seorang guru yang jujur, disiplin, dan penuh semangat akan secara tidak langsung mengajarkan nilai-nilai itu kepada siswanya. Sebaliknya, guru yang tidak konsisten, sering terlambat, atau acuh terhadap tanggung jawabnya, akan menunjukkan contoh buruk yang cepat atau lambat akan "ketoro" (tampak) juga.
Anak-anak adalah pengamat yang tajam. Mereka mampu membedakan guru yang tulus dalam mengajar dengan guru yang hanya menjalankan rutinitas. Di sinilah makna "becik ketitik" mengambil tempat guru yang berdedikasi dan bersungguh-sungguh akan dikenang bukan hanya karena materi yang diajarkannya, tetapi juga karena ketulusannya yang terlihat nyata.

Profesionalisme dan Konsistensi
Dalam era modern ini, tantangan guru semakin kompleks. Namun demikian, prinsip dari peribahasa ini tetap relevan: kualitas sejati akan tampak dari proses yang dijalani. Guru yang profesional tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tapi juga menjaga etika, menjaga hubungan yang sehat dengan murid, dan konsisten dalam mendidik.
Kebaikan yang ditanamkan dalam setiap interaksi, dalam setiap penguatan positif, dalam setiap waktu yang diluangkan untuk memahami siswa yang kesulitan semuanya akan menjadi jejak yang dikenali. Begitu pula sebaliknya, ketidakpedulian atau perlakuan tidak adil akan membekas dan mencerminkan kualitas pembelajaran yang rendah.

Pendidikan Adalah Investasi Nilai
Peribahasa "Becik ketitik, olo ketoro" mengajarkan bahwa hasil dari proses pendidikan tidak selalu tampak secara instan. Sama seperti petani yang menanam benih dan harus menunggu waktu panen, guru juga menanam nilai-nilai dalam diri siswa yang akan berkembang seiring waktu. Nilai-nilai itu akan muncul dalam kehidupan nyata siswa kelak: bagaimana mereka bersikap, mengambil keputusan, dan memandang kehidupan.

Penutup
Dalam dunia pendidikan, kebaikan yang dilakukan seorang guru bukanlah sesuatu yang akan hilang begitu saja. Justru ia akan menjadi warisan yang abadi dalam ingatan dan karakter siswa. Sebaliknya, ketidaktulusan dan ketidakjujuran akan terbaca dan meninggalkan dampak negatif.
Karenanya, mari kita jadikan peribahasa "Becik ketitik, olo ketoro" sebagai pengingat bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, adalah bagian dari proses pendidikan yang bermakna. Guru bukan hanya menyampaikan ilmu, tapi juga menanamkan nilai kehidupan yang akan terus tumbuh dan terlihat baik ataupun buruk.
Share:

Mengelola Masalah Sensitif Guru: Pendekatan Humanis dalam Kepemimpinan Sekolah

Dalam dinamika dunia pendidikan, pemimpin sekolah tidak hanya bertanggung jawab pada aspek akademik dan administratif, tetapi juga pada pengelolaan sumber daya manusia yang kompleks, terutama para guru. Salah satu tantangan besar adalah menangani masalah-masalah sensitif yang dialami guru, yang jika tidak ditangani dengan bijaksana dapat berdampak langsung pada kualitas pendidikan dan iklim sekolah.
Menurut Hampton A. (2025) dalam bukunya How to Run a School: A Manual for School Leadership, terdapat lima masalah sensitif utama yang umum dihadapi guru. Buku tersebut juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan komunikasi terbuka, empati, dan keadilan dalam mengelola masalah-masalah tersebut. Tulisan ini mengupas lebih dalam tentang lima masalah itu serta strategi penanganannya berdasarkan prinsip kepemimpinan humanis.

Lima Masalah Sensitif Guru yang Perlu Diwaspadai

1. Performa Menurun (Declining Performance)
Guru yang sebelumnya berkinerja baik bisa mengalami penurunan performa karena berbagai alasan: kelelahan, tekanan keluarga, burnout atau kurangnya motivasi. Penurunan ini tampak dalam kualitas pengajaran, kedisiplinan, atau inisiatif profesional. Pemimpin sekolah harus peka terhadap perubahan ini dan menghindari respon yang menghakimi.

2. Mengabaikan Aturan (Rule Avoidance)
Beberapa guru mulai tidak konsisten mengikuti kebijakan atau prosedur sekolah, seperti menghindari pelaporan, tidak hadir rapat, atau tidak mengisi administrasi. Bila tidak ditangani dengan tepat, ini bisa merusak kedisiplinan institusi secara keseluruhan.

3. Isu Personal (Personal Issues)
Masalah kesehatan, konflik keluarga, hingga kesulitan finansial bisa membebani guru secara emosional. Meskipun masalah ini sifatnya pribadi, dampaknya bisa menurunkan kinerja profesional. Oleh karena itu, dukungan psikososial dari pimpinan sekolah menjadi sangat penting.

4. Konflik Internal (Internal Conflicts)
Konflik antar guru atau antara guru dan staf dapat menciptakan ketegangan dan menurunkan semangat kerja. Jika dibiarkan berlarut, konflik ini akan menciptakan friksi dalam tim dan mengganggu iklim kolaboratif.

5. Ketidakcocokan (Mismatch or Misalignment)
Ketika nilai atau gaya mengajar seorang guru tidak sesuai dengan visi dan budaya sekolah, maka terjadi ketidakselarasan yang bisa mengganggu sinergi. Ketidakcocokan ini harus segera diidentifikasi untuk dicarikan solusi yang konstruktif, seperti pelatihan atau redistribusi peran.

Strategi Humanis dalam Menangani Masalah Sensitif
Untuk mengatasi kelima masalah tersebut, Hampton mengajukan tiga strategi kunci yang seharusnya menjadi landasan utama dalam kepemimpinan sekolah:

1. Komunikasi Terbuka
Komunikasi yang jujur, langsung, dan penuh rasa hormat adalah kunci pertama. Kepala sekolah perlu membuka ruang dialog personal tanpa menghakimi. Ini memungkinkan guru merasa aman untuk berbagi dan terbuka terhadap solusi.

"Masalah tidak bisa diselesaikan jika tidak pernah dibicarakan."
— Hampton A. (2025)

2. Pendekatan Berbasis Empati
Pemimpin sekolah yang mampu menempatkan dirinya pada posisi guru akan lebih memahami konteks di balik sebuah masalah. Pendekatan empatik mendorong respon yang lebih manusiawi dan solutif, terutama untuk isu-isu personal dan emosional.
Contoh nyata: memberi fleksibilitas jadwal kepada guru yang sedang mengalami beban keluarga, sambil tetap menjaga profesionalitas.

3. Pengambilan Keputusan yang Adil
Ketegasan tetap diperlukan, namun harus dilandasi oleh prinsip keadilan dan transparansi. Kepala sekolah perlu menghindari favoritisme dan bersikap objektif berdasarkan bukti, bukan asumsi.

"People will forgive a hard decision. They will not forgive an unfair one."
— Hampton A. (2025)

Membangun Budaya Sekolah yang Responsif dan Manusiawi
Ketika ketiga prinsip tersebut diterapkan secara konsisten, sekolah akan berkembang menjadi lingkungan kerja yang tidak hanya produktif, tetapi juga empatik dan suportif. Guru akan merasa dihargai dan didengarkan, sehingga mereka lebih terbuka untuk berubah, berkembang, dan tetap berkontribusi secara positif.

Kesimpulan
Mengelola masalah sensitif guru bukan semata soal prosedur, tetapi soal kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Lima tantangan utama; performa menurun, pengabaian aturan, isu personal, konflik internal, dan ketidakcocokan, menuntut kepala sekolah untuk mengedepankan komunikasi terbuka, empati, dan keadilan.
Dalam pandangan Hampton, pemimpin sekolah tidak cukup menjadi manajer, tetapi juga pemimpin yang manusiawi. Karena pada akhirnya, sekolah yang hebat dibangun oleh orang-orang yang merasa dihargai dan didukung.

Referensi:
Hampton, A. (2025). How to Run a School: A Manual for School Leadership. London: Education Reform Press.
Share:

Sekolah Kuno di Era Digital: Saatnya Berbenah atau Tertinggal

Tulisan Ryan. O tentang 5 ciri sekolah kuno di tahun 2025 yang ramai diperbincangkan di salah satu media sosial merupakan cerminan jujur tentang kondisi sebagian institusi pendidikan kita yang masih berkutat dengan pola kerja lama di tengah kemajuan zaman yang serba digital dan kolaboratif. Ryan menyebutkan lima ciri utama sekolah yang masih terjebak dalam cara lama:
  1. Sedikit-sedikit meeting – menunjukkan kepemimpinan dengan kemampuan literasi rendah, belum terbiasa berpikir strategis dan menuliskannya secara efektif.
  2. Pengumuman masih lisan – rentan dilupakan, tidak akuntabel, dan menghambat koordinasi yang rapi dan terdokumentasi.
  3. Kolaborasi masih via email – metode komunikasi lama yang tidak efisien, membuat pesan tercecer dan susah ditindaklanjuti.
  4. Iklim sekolah individualis, bukan kolaboratif – lingkungan kompetitif yang merugikan inovasi dan berbagi pengetahuan.
  5. Salah kaprah dalam promosi sekolah – lebih menonjolkan fasilitas ketimbang kualitas guru dan layanan pendidikan.

Sekolah Harus Berani Bertransformasi
Saya sepakat bahwa kelima poin tersebut mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi banyak sekolah di era sekarang. Ini bukan sekadar kritik, tetapi cermin yang menunjukkan bahwa jika kita ingin menciptakan pendidikan masa depan, maka kita harus berani meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak lagi relevan.

1. Budaya Meeting yang Tidak Efektif
Rapat yang terlalu sering dan tidak produktif menjadi indikator bahwa organisasi belum mengembangkan budaya komunikasi yang sehat dan efisien. Dalam organisasi pembelajar, seorang pemimpin seharusnya mampu mengkomunikasikan ide dan arahan secara tertulis, jelas, dan sistematis. Dengan membiasakan komunikasi tertulis, kita tidak hanya mengefektifkan waktu, tetapi juga melatih berpikir kritis dan strategis. Setiap guru dan tenaga kependidikan pun terdorong untuk menjadi pribadi yang mandiri, tidak selalu harus hadir dalam rapat untuk memahami arah kebijakan.

2. Dominasi Komunikasi Lisan
Mengandalkan pengumuman lisan dalam koordinasi internal sekolah memang praktis, tetapi berisiko tinggi. Sering kali informasi terdistorsi, terlupa, atau bahkan tidak sampai ke pihak yang seharusnya menerima. Komunikasi tertulis—melalui surat resmi, grup kerja digital, atau sistem manajemen informasi sekolah—jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ini juga menciptakan budaya akuntabilitas yang kuat, di mana setiap orang tahu apa tugasnya, kapan tenggat waktunya, dan kepada siapa harus bertanggung jawab.

3. Kolaborasi Lewat Email? Sudah Ketinggalan Zaman
Email masih relevan, tetapi tidak lagi ideal sebagai sarana utama kolaborasi dinamis. Banyak platform digital seperti Google Workspace, Microsoft Teams, Notion, dan Trello telah menyediakan fitur yang jauh lebih efektif untuk kerja tim, pembagian tugas, pelacakan progres, dan diskusi ide. Sekolah yang masih mengandalkan email untuk seluruh koordinasi internal justru menyulitkan diri sendiri. Efektivitas kerja sangat tergantung pada kemudahan akses informasi dan kecepatan merespons, yang tidak bisa dipenuhi oleh email secara optimal.

4. Iklim Individualis Menghambat Inovasi
Budaya individualisme dalam sekolah biasanya lahir dari sistem yang terlalu menekankan kompetisi pribadi dan pencitraan. Dalam lingkungan semacam ini, kolaborasi, transparansi, dan saling berbagi informasi menjadi barang langka. Padahal, inovasi dalam pendidikan hanya bisa tumbuh dalam atmosfer yang suportif, terbuka, dan mendorong eksperimen bersama. Sekolah perlu menciptakan ruang kolaboratif yang mendorong guru untuk berbagi praktik baik, melakukan aksi reflektif bersama, dan saling mendukung dalam pengembangan kompetensi.

5. Promosi Sekolah yang Salah Arah
Banyak sekolah masih menonjolkan gedung baru, ruang ber-AC, atau perangkat canggih dalam promosi mereka. Padahal, esensi pendidikan bukan pada sarana fisik, tetapi pada kualitas hubungan antara guru dan siswa, serta proses pembelajaran yang bermakna. Sekolah yang bijak adalah sekolah yang berani menampilkan kualitas manusianya—guru yang inspiratif, pembelajaran yang berdampak, dan komunitas belajar yang tumbuh bersama. Tanpa guru yang berkualitas, fasilitas secanggih apapun akan menjadi benda mati.

Penutup: Refleksi dan Aksi Nyata
Tulisan Ryan. O bukan sekadar sindiran, tetapi alarm pengingat bahwa perubahan zaman harus direspon dengan perubahan cara berpikir dan cara kerja. Sekolah tidak bisa lagi dikelola dengan model manajemen lama yang tertutup, hierarkis, dan statis. Kita membutuhkan sekolah yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis pada nilai-nilai profesionalisme dan literasi digital.
Membenahi budaya organisasi di sekolah bukan hal mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan. Dimulai dari keberanian pemimpin untuk mengevaluasi diri, membangun komunikasi yang sehat, dan menciptakan ruang kolaboratif yang mendorong pertumbuhan semua elemen sekolah.
Jika tidak sekarang, kapan lagi? Mari bergerak bersama menuju sekolah masa depan yang tidak kuno, tetapi maju, manusiawi, dan bermakna.
Share:

Lima Teknik Manajemen Kelas agar Murid Tenang dan Fokus Saat Belajar

Mengelola kelas bukan sekadar menjaga ketertiban, tetapi juga menciptakan suasana belajar yang kondusif, menyenangkan, dan penuh makna. Sebagai guru, kemampuan membimbing murid agar tetap tenang dan fokus selama proses pembelajaran adalah kunci kesuksesan kegiatan belajar dan mengajar. Berikut lima teknik manajemen kelas yang sederhana namun sangat efektif dalam membantu guru menciptakan kelas yang tertib tanpa harus bersikap otoriter.

1. One Voice Only: Satu Suara dalam Satu Waktu
Teknik ini mengajarkan disiplin komunikasi dan rasa saling menghargai. Guru bersama murid membuat kesepakatan bahwa dalam satu waktu, hanya satu orang yang boleh berbicara, baik guru maupun murid. Ketika guru menjelaskan, murid mendengarkan. Saat murid menyampaikan pendapat, yang lain pun memberi perhatian.
Konsep “One Voice Only” bukan hanya membuat suasana kelas lebih tenang, tetapi juga menanamkan nilai demokrasi dan etika berbicara. Dengan kebiasaan ini, murid belajar bahwa setiap suara memiliki nilai, dan setiap orang berhak didengarkan.

2. Hand Clapping Rhythm: Irama Tepuk Tangan sebagai Sinyal Pengendali
Mengatur perhatian murid bisa menjadi tantangan, terutama saat mereka terlalu bersemangat atau gaduh. Teknik irama tepuk tangan menjadi solusi praktis dan menyenangkan. Guru membuat pola tepuk tangan tertentu, misalnya satu kali tepuk sedang, dua kali cepat, dan tiga kali sangat cepat, lalu murid diminta menirukannya sebagai sinyal untuk berhenti berbicara dan fokus kembali.
Teknik ini menciptakan suasana belajar yang interaktif dan memberi ruang bagi murid untuk terlibat secara fisik sekaligus emosional dalam pengaturan ritme kelas. Mereka merasa diajak, bukan diperintah.

3. Time Countdown: Hitung Mundur untuk Meningkatkan Kesiapan
Saat akan berpindah ke aktivitas baru atau menjalankan instruksi, guru bisa menggunakan metode hitung mundur. Misalnya, “Dalam sepuluh detik, semua sudah duduk rapi dan membuka buku.” Hitungan mundur (10, 9, 8...) tidak hanya menarik perhatian murid, tetapi juga melatih kemampuan mereka mengatur waktu dan bergerak secara terorganisir. Selain meningkatkan efisiensi waktu, teknik ini memberikan struktur dalam proses transisi antarkegiatan yang sering kali menjadi momen paling rawan gangguan dalam kelas.

4. Tidy Up and Sit Properly: Bereskan Diri, Tenangkan Hati
Menanamkan kebiasaan merapikan alat tulis, meja, dan lingkungan sekitar sebelum atau sesudah belajar bisa berdampak besar terhadap ketenangan suasana kelas. Murid diajak untuk “beres-beres” sebagai bagian dari ritual belajar. Setelah itu, mereka diminta duduk dengan tenang dan posisi tubuh yang baik.
Kegiatan ini membantu menanamkan rasa tanggung jawab terhadap kebersihan dan kerapian. Lebih dari itu, tindakan fisik membereskan barang ternyata juga memberi efek menenangkan pada psikologis murid, membuat mereka lebih siap menyerap pelajaran.

5. Say Thank You: Apresiasi yang Menyentuh Hati
Kata-kata sederhana seperti “Terima kasih, Andri sudah duduk tenang” memiliki kekuatan besar. Mengucapkan terima kasih sambil menyebutkan nama murid secara spesifik adalah bentuk apresiasi positif yang mampu memperkuat perilaku baik.
Dengan membiasakan ucapan terima kasih, guru membangun budaya saling menghargai dan memperkuat hubungan emosional antara guru dan murid. Murid pun merasa dihargai dan lebih termotivasi untuk menjaga perilaku positif dalam belajar.

Penutup: Membentuk Kelas yang Tenang dan Bermakna
Manajemen kelas bukan semata-mata soal menjaga ketertiban, melainkan tentang membangun suasana yang memungkinkan setiap murid merasa nyaman, didengar, dan dihargai. Kelima teknik di atas merupakan langkah sederhana namun ampuh dalam menumbuhkan kedisiplinan tanpa paksaan.
Dengan konsistensi, kreativitas, dan sentuhan empati, guru dapat menciptakan ruang belajar yang tak hanya tenang, tetapi juga penuh makna dan menyenangkan. Karena pada akhirnya, murid yang tenang bukan hanya siap menerima pelajaran, tapi juga tumbuh menjadi pribadi yang sadar, tertib, dan menghargai orang lain.
Share:

Saat Murid Membenci Guru: Saatnya Mengganti Penghakiman dengan Pendekatan

"Handle with care" bukan hanya peringatan untuk barang pecah belah. Hati murid pun demikian ... mudah pecah, sulit disatukan kembali. Dalam dunia pendidikan, relasi guru dan murid merupakan fondasi penting dalam membangun proses belajar yang sehat dan bermakna. Namun, tidak jarang terdengar kisah tentang seorang murid yang membenci gurunya. Situasi ini tentu memantik tanya: Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah hanya karena si murid yang tidak hormat, atau ada yang lebih dalam?
Sebagai guru, kita perlu kembali pada prinsip dasar: kita berkewajiban untuk mengenal setiap murid. Sayangnya, prinsip ini terkadang terkikis oleh tuntutan administratif, beban kurikulum, atau bahkan ego kita sebagai pendidik. Padahal, pengenalan yang tulus terhadap murid menjadi jembatan utama dalam menciptakan proses belajar yang manusiawi.

Mengapa Murid Bisa Membenci Guru?
Salah satu penyebab utama munculnya rasa benci dari murid kepada guru adalah mistreatment ... perlakuan yang dirasakan tidak adil, menyakitkan, atau merendahkan harga diri. Ambil contoh kasus yang sering terjadi: seorang murid tidak menyukai suatu mata pelajaran, lalu ketika mendapatkan nilai rendah, ia malah dicap “bodoh”.
Dalam situasi ini, siapa yang sebenarnya bermasalah? Murid yang kesulitan memahami materi, atau guru yang gagal memahami cara belajar murid?
Jika kita mau jujur, sikap menghakimi seperti itu sering kali lahir dari ketidaksabaran dan kurangnya empati. Ketika seorang murid sudah tidak suka pada mata pelajaran tertentu, justru itulah saatnya guru hadir sebagai penuntun, bukan sebagai hakim. Sudahkah kita menanyakan: Kenapa dia tidak suka pelajaran ini? Apa yang membuatnya kesulitan? Apakah ada dukungan dari orang tuanya di rumah?

Saatnya Mengubah Pendekatan
Mengajar bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tapi membangun hubungan. Alih-alih menghakimi, guru harus lebih banyak mendengar, merangkul, dan memahami. Ada beberapa pendekatan sederhana namun bermakna yang bisa kita lakukan:
  • Berelasi secara personal. Sempatkan waktu untuk berbincang dengan murid secara individu. Duduk bersamanya di kantin, ajak diskusi ringan di luar jam pelajaran. Tanyakan tentang hobinya, keluarganya, atau sekadar bagaimana perasaannya hari itu.
  • Apresiasi sekecil apapun kelebihannya. Semua murid punya kelebihan, walaupun tidak selalu dalam bidang akademik. Bisa jadi ia pandai menggambar, menari, atau bersikap sopan. Pujian yang tulus mampu menghangatkan hubungan yang renggang.
  • Berhenti cepat menghakimi. Tidak semua nilai rendah adalah bukti kemalasan. Bisa jadi ada masalah di rumah, tekanan psikologis, atau cara belajar yang tidak sesuai. Jadilah pendengar yang sabar.
  • Kenali latar belakang keluarganya. Terkadang, apa yang kita anggap “sikap buruk” hanyalah cerminan dari beban hidup yang ia bawa dari rumah. Pemahaman terhadap konteks keluarga akan membantu kita bersikap lebih bijak.

Hati Murid, Bukan Sekadar Angka
Ingatlah bahwa murid bukanlah robot yang hanya dinilai dari angka. Mereka adalah manusia dengan emosi, pengalaman, dan luka yang bisa jadi belum mereka pahami sendiri. Relasi yang rusak karena perlakuan tidak adil akan sulit diperbaiki. Seperti barang pecah belah, hati murid pun membutuhkan peringatan: Handle with care.
Kita, para guru, harus lebih lambat dalam menghakimi, namun cepat dalam mendengarkan. Karena ketika murid merasa dimengerti, mereka tidak hanya akan terbuka, tetapi juga mulai mempercayai kita sebagai guru dan sebagai manusia.

Penutup
Mungkin kita tidak bisa menjadi guru yang disukai semua murid. Namun, kita bisa berusaha menjadi guru yang dikenal dan dimengerti oleh setiap murid. Karena dalam pendidikan, hubungan yang kuat lebih berpengaruh daripada sekadar nilai sempurna di rapor.
Share:

Kajian Empat "is" terhadap Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Menjadi Kepala Sekolah di Era Baru: Apa yang Perlu Diketahui Guru?

Peran kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran menjadi semakin vital di tengah dinamika transformasi pendidikan nasional. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah RI resmi menerbitkan Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah. Aturan baru ini menggantikan peraturan lama, Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2021 dan menghadirkan perubahan strategis dalam penyediaan dan penugasan kepala sekolah.
Untuk memahami secara mendalam implikasi dari kebijakan baru ini, diperlukan kajian komprehensif terhadap muatan dan arah peraturannya. Kajian ini mengeksplorasi peraturan tersebut melalui empat sudut pandang, yakni filosofis, yuridis, politis, dan sosiologis.

Kajian Filosofis
Secara filosofis, peraturan ini didasari oleh semangat meningkatkan kualitas pendidikan melalui kepemimpinan sekolah yang profesional dan berintegritas. Pandangan ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam konteks keadilan sosial, tanggung jawab, dan kemanusiaan. Aspek filosofis utama yang tercermin adalah:
  • Humanisme pendidikan, dengan memberikan ruang bagi guru untuk berkembang menjadi pemimpin pendidikan.
  • Keadilan akses, di mana sistem rekrutmen dan seleksi calon kepala sekolah dibuka melalui mekanisme terbuka dan berbasis kompetensi.
  • Profesionalisme, dengan syarat pelatihan, seleksi substansi, dan pengalaman manajerial yang ditekankan sebagai fondasi.
Dengan demikian, Permendikdasmen ini mengusung paradigma bahwa kepala sekolah bukan hanya administratif, melainkan transformasional leader yang mendukung pembelajaran mendalam dan dimensi profil lulusan.

Kajian Yuridis
Secara yuridis, Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 memiliki landasan hukum yang kuat dan tersinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti:
  • UUD 1945 Pasal 17 (3): Pasal ini merupakan jaminan fundamental bagi demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan sosial. Dengan adanya jaminan ini, masyarakat dapat secara aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan pembangunan negara.
  • Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  • Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru: Menjadi rujukan untuk status dan kompetensi guru.
  • Peraturan Presiden No. 188 Tahun 2024: Menetapkan struktur kelembagaan baru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan ini secara eksplisit diantaranya mengatur:
  • Tahapan penyediaan dan penugasan calon kepala sekolah (Pasal 3–15),
  • Syarat kompetensi, administratif, dan pengalaman manajerial (Pasal 7),
  • Masa penugasan dan mekanisme pemberhentian (Pasal 23–28),
  • Penjaminan mutu dan pendanaan (Pasal 29–30).
Dengan sistem merit dan akuntabilitas yang diatur, peraturan ini memberi kepastian hukum dalam tata kelola penugasan kepala sekolah.

Kajian Politis
Dari aspek politis, peraturan ini merefleksikan arah kebijakan pemerintah untuk memperkuat otonomi daerah dalam pendidikan sambil memastikan standardisasi mutu kepala sekolah. Implikasi politis yang terlihat antara lain:
  • Sinergi pusat-daerah, di mana penetapan calon kepala sekolah tetap melibatkan pemerintah daerah, namun dengan basis data dan sistem nasional (Pasal 4 dan 16).
  • Penguatan tata kelola pendidikan melalui peran Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), tim pertimbangan daerah, dan verifikasi berbasis sistem informasi.
  • Pembersihan dari praktik politisasi jabatan, dengan syarat bebas narkotika, integritas, dan tidak menjadi bagian dari partai politik (Pasal 7 dan 28).
Namun, tantangan politik muncul dalam penerapan objektifitas dan keserentakan eksekusi kebijakan di daerah, terutama dalam konteks ketersediaan SDM dan kesiapan sistem digital.

Kajian Sosiologis
Secara sosiologis, peraturan ini merupakan respon terhadap tuntutan masyarakat akan mutu pendidikan yang lebih merata dan inklusif. Aspek sosiologis yang menonjol:
  • Distribusi kepemimpinan yang adil melalui pemetaan kebutuhan per empat tahun (Pasal 4).
  • Inklusi terhadap guru PPPK dan Non ASN, memperluas ruang partisipasi sosial dalam memimpin sekolah.
  • Penekanan pada peran kepala sekolah sebagai agen perubahan sosial di komunitas, bukan hanya manajer internal sekolah.
Selain itu, aturan ini menjawab kebutuhan perubahan struktur masyarakat pendidikan, dengan memperhatikan keterlibatan masyarakat, dewan pendidikan, dan transparansi proses (Pasal 16 ayat 5).
Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 merupakan regulasi yang progresif dalam memperkuat kualitas kepemimpinan sekolah melalui pendekatan berbasis merit, transparansi, dan keadilan. Secara filosofis, ia menghidupkan semangat profesionalisme dan kepemimpinan transformatif. Secara yuridis, hadir dengan legalitas kuat dan integratif. Secara politis, memperkuat sinergi pusat-daerah dengan prinsip tata kelola bersih. Secara sosiologis, berkontribusi pada keadilan sosial dan kemajuan mutu pendidikan nasional. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen implementasi di daerah, kapasitas digital sistem informasi, dan konsistensi pelatihan kepala sekolah.
Kajian tersebut menunjukkan arah perubahan yang cukup progresif. Lalu, apa saja perubahan penting dan bagaimana peluang baru ini bisa dimanfaatkan oleh para guru?

Kepala Sekolah: Bukan Sekadar Jabatan, Tapi Pemimpin Pendidikan
Permendikdasmen ini menegaskan bahwa guru bisa dan layak menjadi pemimpin pendidikan. Kepala sekolah bukan hanya administrator, tetapi juga harus memiliki kompetensi sosial, kepribadian yang tangguh, dan profesionalisme yang mencakup jiwa kewirausahaan.

Jalan Menuju Kepala Sekolah: Bukan Lagi Sekadar "Ditunjuk"
Penugasan sebagai kepala sekolah kini melalui proses yang jelas dan terbuka, yaitu:
  • Pemetaan kebutuhan di sekolah-sekolah.
  • Pengusulan calon dari guru yang memenuhi syarat.
  • Seleksi administrasi dan substansi oleh kementerian.
  • Pelatihan intensif bagi bakal calon kepala sekolah.
  • Penugasan berdasarkan rekomendasi tim pertimbangan daerah.
  • Guru yang terpilih akan dibekali pelatihan dan sertifikat resmi sebagai bekal kepemimpinan.

Apa Saja Syarat Menjadi Kepala Sekolah?
Guru PNS atau PPPK bisa diusulkan jika:
  • Memiliki ijazah minimal S1/D4 dan sertifikat pendidik.
  • PNS minimal golongan III/c atau PPPK dengan pengalaman mengajar 8 tahun.
  • Pernah memiliki pengalaman manajerial minimal 2 tahun.
  • Berusia maksimal 56 tahun saat ditugaskan.
  • Tidak sedang terlibat kasus hukum dan siap ditempatkan di mana saja.
  • Bagi guru non ASN di sekolah swasta, aturan pengangkatan ditetapkan oleh yayasan masing-masing.

Masa Jabatan dan Evaluasi Berkala
Penugasan berlangsung selama dua periode, masing-masing 4 tahun. Evaluasi dilakukan tiap tahun. Jika dinilai “Sangat Baik” dan belum ada pengganti yang memenuhi syarat, masa tugas bisa diperpanjang satu periode lagi.

Kepala Sekolah di Luar Negeri? Bisa!
Guru PNS juga bisa bertugas sebagai kepala Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN). Namun, syaratnya ketat: harus pernah jadi kepala sekolah minimal 4 tahun, menguasai bahasa asing, dan mampu mempromosikan seni budaya Indonesia.

Penjaminan Mutu dan Dana Ditanggung Negara
Penugasan ini tak hanya formalitas. Direktorat Jenderal akan menjamin mutu di setiap tahapannya, dan pendanaannya berasal dari APBN/APBD atau sumber sah lainnya.

Peralihan yang Mulus
Bagi kepala sekolah yang masih aktif sebelum peraturan ini berlaku, tak perlu khawatir. Mereka tetap bisa melanjutkan tugas hingga masa periodenya habis. Bila belum ada calon yang bersertifikat pelatihan, guru yang memenuhi syarat tetap bisa diangkat sementara.

Permendikdasmen No. 7 Tahun 2025 membuka peluang besar bagi guru-guru hebat untuk naik level sebagai pemimpin perubahan di sekolah. Prosesnya ketat, tapi adil dan transparan. Jadi, jika Anda guru yang punya semangat, kemampuan manajerial, dan tekad membangun pendidikan lebih baik, saatnya bersiap menjadi kepala sekolah masa depan!
Share:

Peran Strategis Sekolah dalam Mendukung Visi Kuningan MELESAT

Kabupaten Kuningan tengah melangkah menuju masa depan yang gemilang melalui visi pembangunan daerah yang dikenal dengan istilah Kuningan MELESAT, akronim dari Maju, Empowering, Lestari, Agamis, dan Tangguh. Visi ini bukan hanya menjadi milik pemerintah semata, melainkan memerlukan keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk lembaga pendidikan sebagai garda terdepan dalam mencetak generasi penerus bangsa.

Sekolah sebagai Pilar Pembangunan Daerah
Sekolah memiliki peran strategis sebagai pilar pembangunan daerah karena di sanalah proses pembentukan karakter, pengetahuan, dan keterampilan generasi muda berlangsung. Dalam konteks mendukung visi Kuningan MELESAT, sekolah tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik, tetapi juga pada nilai-nilai yang selaras dengan arah pembangunan daerah.

Maju Melalui Inovasi Pembelajaran
Aspek pertama dari visi MELESAT adalah “Maju”, yang dapat diwujudkan sekolah dengan menghadirkan inovasi dalam proses pembelajaran. Kurikulum yang adaptif, penggunaan teknologi pendidikan, dan penerapan pendekatan berbasis proyek serta pembelajaran mendalam (deep learning) akan memperkuat daya saing siswa di era global. Guru dituntut untuk tidak sekadar mengajar, tetapi menjadi fasilitator yang mampu membimbing siswa dalam berpikir kritis, kreatif, dan solutif.

Empowering: Mendidik untuk Pemberdayaan
Kata “Empowering” mencerminkan pentingnya pemberdayaan siswa agar memiliki kepercayaan diri, kemandirian, dan kepemimpinan. Sekolah harus menyediakan ruang yang aman dan suportif bagi siswa untuk mengembangkan potensi dirinya, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Pendidikan karakter, pembiasaan berorganisasi, dan pelatihan keterampilan hidup menjadi fondasi penting dalam membentuk siswa yang siap berkarya dan berkontribusi di masyarakat.

Lestari: Membangun Kesadaran Lingkungan
Visi “Lestari” mengajak semua pihak, termasuk sekolah, untuk berkomitmen menjaga kelestarian lingkungan. Sekolah ramah lingkungan, gerakan hemat energi, pengelolaan sampah berbasis 3R (reduce, reuse, recycle), hingga integrasi isu-isu lingkungan ke dalam mata pelajaran adalah bentuk nyata dukungan terhadap pembangunan berkelanjutan. Kesadaran ekologis harus ditanamkan sejak dini agar siswa tumbuh sebagai individu yang peduli terhadap bumi.

Agamis: Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Spiritual
Kuningan sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai keagamaan, mengharapkan sekolah menjadi ladang subur bagi pembentukan karakter spiritual siswa. Melalui pembiasaan ibadah, penguatan akhlak mulia, serta dialog antaragama yang harmonis, sekolah berperan menjaga nilai-nilai agamis tetap hidup dalam keseharian peserta didik. Nilai-nilai ini menjadi penyeimbang dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tangguh: Menyiapkan Generasi Tahan Uji
Terakhir, “Tangguh” bermakna kesiapan siswa dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks. Sekolah perlu menumbuhkan ketahanan mental, sosial, dan akademik melalui proses pembelajaran yang menantang namun menyenangkan. Pengembangan soft skills seperti resiliensi, kemampuan beradaptasi, kolaborasi, dan problem solving menjadi bagian penting dalam membentuk pribadi tangguh.

Penutup
Mewujudkan Kuningan MELESAT bukanlah cita-cita yang utopis apabila setiap elemen masyarakat, terutama sekolah menjalankan perannya secara optimal. Melalui inovasi, pemberdayaan, kepedulian lingkungan, nilai agamis, dan pembentukan karakter tangguh, sekolah menjadi motor penggerak peradaban yang akan melesatkan Kuningan ke masa depan yang lebih cerah. Kini saatnya bersinergi, berkolaborasi, dan beraksi untuk menjadikan Kuningan lebih hebat!

Share:

Diam dalam Kebaikan: Keteladanan yang Lebih Nyata daripada Kata

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia cenderung ingin dihargai dan diakui. Salah satu bentuknya adalah menceritakan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Namun, ada sebuah prinsip bijak dalam pergaulan: “Tidak usah banyak bercerita tentang kebaikan diri. Karena yang cinta tidak memerlukan itu, dan yang benci tidak akan pernah percaya.” Ungkapan ini sederhana, tetapi memiliki makna yang mendalam, terutama dalam konteks kehidupan di lingkungan sekolah. Baik dari sudut pandang murid maupun guru, nilai ini dapat menjadi fondasi dalam membangun hubungan sosial yang sehat, penuh hormat, dan beretika.
Di lingkungan sekolah, kebaikan seharusnya menjadi bagian dari keseharian, bukan bahan untuk dipamerkan. Seorang murid yang rajin membantu teman, sopan kepada guru, atau disiplin dalam belajar, tak perlu sibuk menceritakan apa yang telah ia lakukan. Kebaikan yang nyata akan terlihat tanpa perlu dikemas dalam narasi. Teman-teman yang memiliki hati tulus akan melihat dan menghargainya, bahkan tanpa perlu dijelaskan. Sementara mereka yang sudah terlanjur memiliki prasangka, tidak akan percaya, meskipun kebaikan itu dibungkus dengan kata-kata manis sekalipun.
Demikian pula bagi seorang guru. Keteladanan adalah kunci dalam mendidik. Seorang guru yang sabar, jujur, dan penuh perhatian kepada siswanya tidak perlu mempromosikan dirinya. Justru ketika kebaikan dilakukan secara konsisten dan tanpa pamrih, siswa akan lebih mudah menangkap pesan moralnya. Mereka belajar bukan dari apa yang didengar, tetapi dari apa yang dilihat dan dirasakan. Guru yang terlalu sering mengangkat dirinya sebagai “teladan”, bisa saja kehilangan makna dari keteladanan itu sendiri karena akan terkesan membanggakan diri, bukan menginspirasi.
Kisah-kisah nyata di sekolah seringkali menunjukkan betapa kekuatan diam dalam kebaikan jauh lebih efektif. Misalnya, seorang siswa yang selalu membersihkan kelas tanpa diminta. Awalnya mungkin tidak ada yang peduli. Namun lama-kelamaan, tindakan itu menginspirasi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Begitu pula seorang guru yang setia mendampingi siswa belajar di luar jam pelajaran, tanpa pernah menyebutkannya dalam rapat atau media sosial. Lambat laun, siswa dan rekan guru lainnya menyadari ketulusan itu, dan terbangunlah budaya saling membantu dan menghargai.
Di sinilah letak kekuatan nilai diam dalam kebaikan: ia tidak menggantungkan apresiasi pada pengakuan orang lain. Kebaikan seperti ini tumbuh dari hati yang ikhlas, dan justru karena tidak banyak bicara, ia menjadi lebih jujur dan berpengaruh.

Kesimpulan
Dalam dunia pendidikan, kebaikan bukanlah sesuatu yang harus diceritakan, tetapi harus ditunjukkan. Mereka yang mencintai kita tidak perlu diyakinkan, dan mereka yang membenci kita tidak akan bisa diyakinkan. Maka, biarkan tindakan yang berbicara. Sebab, keteladanan bukanlah soal seberapa banyak kita berkata, tetapi seberapa nyata dampak yang kita tinggalkan. Di sekolah, baik sebagai guru maupun murid, mari membangun budaya kebaikan yang tidak riuh oleh pujian, tetapi kuat oleh ketulusan.

Share:

Empat Keterampilan Berpikir yang Wajib Dimiliki Guru sebagai Pemimpin Pembelajaran Masa Kini

Di tengah arus perubahan sosial, teknologi, dan informasi yang berlangsung sangat cepat, guru tidak lagi cukup hanya menjadi penyampai materi. Guru masa kini adalah pemimpin pembelajaran, seseorang yang mampu menavigasi kompleksitas proses belajar-mengajar dengan kecerdasan intelektual dan emosional.
Untuk menjalankan peran tersebut, ada empat keterampilan berpikir yang esensial: berpikir sistem, berpikir pengalaman, berpikir kritis, dan berpikir strategis. Keempatnya bukan sekadar kemampuan kognitif, tetapi cara pandang yang membentuk kualitas keputusan dan tindakan seorang guru.

Berpikir Sistem: Memahami Keterkaitan dan Dampak Menyeluruh
Berpikir sistem adalah kemampuan melihat keseluruhan gambaran (big picture) dari suatu situasi atau permasalahan. Dalam konteks kepemimpinan pembelajaran, guru dituntut untuk tidak melihat kelas sebagai sekumpulan individu yang terpisah, melainkan sebagai sistem yang saling memengaruhi: siswa, kurikulum, metode, lingkungan sekolah, bahkan kondisi sosial keluarga siswa.
Contoh konkret: Ketika seorang guru mengubah metode pembelajaran dari ceramah ke diskusi kelompok, ia harus memahami bahwa perubahan ini bisa memengaruhi dinamika kelas (siswa lebih aktif atau justru diam), kesiapan materi (perlu lebih terbuka dan fleksibel), hingga manajemen waktu. Guru yang berpikir sistem akan mempertimbangkan seluruh efek domino tersebut, termasuk bagaimana perubahan pendekatan akan berdampak pada keterlibatan emosional siswa, hubungan antar teman, dan hasil belajar jangka panjang.
Berpikir sistem juga membantu guru menyadari bahwa tantangan dalam pembelajaran jarang berdiri sendiri. Misalnya, rendahnya partisipasi siswa dalam kelas daring mungkin tidak hanya karena mereka tidak tertarik, tetapi bisa jadi karena tidak adanya akses internet yang memadai atau kurangnya dukungan dari rumah. Dengan berpikir sistem, guru mampu menganalisis masalah secara menyeluruh sebelum menentukan solusi.

Berpikir Pengalaman: Mengambil Keputusan dari Refleksi
Berpikir pengalaman merupakan bentuk kecerdasan praktis. Keterampilan ini muncul dari proses refleksi terhadap pengalaman masa lalu dan pengambilan keputusan berdasarkan situasi yang mirip. Guru yang berpikir dengan cara ini mampu belajar dari praktik sebelumnya, baik yang berhasil maupun yang gagal sehingga mampu bertindak lebih efektif di masa depan.
Contoh: Ketika menghadapi siswa yang sering mengganggu kelas, guru yang telah mengalami situasi serupa akan mengingat pendekatan yang pernah berhasil, seperti membangun komunikasi personal, menyesuaikan peran siswa di kelas, atau memberikan tanggung jawab kecil agar siswa merasa dihargai. Pengalaman membentuk intuisi profesional guru dalam menghadapi berbagai karakter dan situasi.
Namun, berpikir pengalaman tidak berarti mengandalkan kebiasaan tanpa evaluasi. Justru, guru harus melakukan refleksi kritis terhadap setiap pengalaman: mengapa pendekatan ini berhasil? Dalam konteks apa metode itu tepat digunakan? Sikap reflektif ini yang membedakan guru pembelajar dari sekadar pengulang metode lama.

Berpikir Kritis: Menggali Akar Masalah untuk Solusi Tepat
Berpikir kritis adalah kemampuan menganalisis informasi, menilai bukti, dan membuat kesimpulan secara rasional. Dalam kepemimpinan pembelajaran, berpikir kritis memungkinkan guru tidak hanya menerima fenomena di permukaan, tetapi menyelidiki penyebab di baliknya.
Sebagai ilustrasi, ketika hasil belajar siswa menurun, guru yang berpikir kritis tidak langsung menyalahkan siswa yang dianggap malas, tetapi menggali lebih dalam: Apakah tujuan pembelajaran sudah dipahami? Apakah metode pengajaran relevan dengan karakteristik siswa? Apakah evaluasi yang digunakan sudah sesuai dengan kompetensi yang ditargetkan?
Berpikir kritis juga mencakup keterampilan mengevaluasi sumber informasi. Di era digital, siswa sering mendapatkan informasi dari internet. Guru yang berpikir kritis akan membimbing siswa memilah informasi yang kredibel, menilai keabsahan argumen, dan membangun penalaran logis. Dengan demikian, berpikir kritis menjadi fondasi literasi dan pembelajaran berbasis pemahaman.

Berpikir Strategis: Menimbang Keputusan dengan Pandangan Jauh ke Depan
Berpikir strategis adalah kemampuan melihat konsekuensi jangka panjang dari suatu keputusan. Guru yang berpikir strategis tidak hanya fokus pada keberhasilan pembelajaran hari ini, tetapi juga bagaimana pembelajaran tersebut membentuk karakter, keterampilan, dan masa depan siswa.
Sebagai contoh, seorang guru mungkin memilih untuk mengintegrasikan proyek kolaboratif dalam mata pelajaran IPS. Meski menuntut perencanaan lebih rumit, strategi ini ditujukan untuk menumbuhkan soft skills seperti kerja tim, tanggung jawab, dan kemampuan menyelesaikan masalah, semua keterampilan yang sangat dibutuhkan di dunia nyata. Guru berpikir strategis akan merancang pembelajaran dengan visi jauh: "Apa dampaknya untuk siswa lima atau sepuluh tahun ke depan?"
Berpikir strategis juga berarti mampu menetapkan prioritas, memilih pendekatan yang paling relevan dengan tujuan jangka panjang, dan mampu mengelola risiko. Dalam konteks pengembangan profesional, guru strategis akan terus meningkatkan diri, mengikuti pelatihan, dan berinovasi dalam praktik mengajar.

Penutup:
Keempat keterampilan berpikir ini sistemik, berbasis pengalaman, kritis, dan strategis, bukan hanya alat untuk menyelesaikan masalah, tetapi lensa yang membentuk cara guru memahami dan memimpin proses belajar. Di tengah kompleksitas dunia pendidikan, guru dengan keterampilan berpikir ini akan menjadi pemimpin pembelajaran yang adaptif, reflektif, dan visioner.
Mengembangkan keempat keterampilan ini memang bukan proses instan. Namun, dengan kesadaran, latihan reflektif, dan dukungan komunitas belajar, guru dapat terus bertumbuh menjadi pemimpin sejati yang memberi arah dan makna dalam perjalanan belajar siswa.
Share:

Website Translator

Blog Archive

Visitors