"Handle with care" bukan hanya peringatan untuk barang pecah belah. Hati murid pun demikian ... mudah pecah, sulit disatukan kembali. Dalam dunia pendidikan, relasi guru dan murid merupakan fondasi penting dalam membangun proses belajar yang sehat dan bermakna. Namun, tidak jarang terdengar kisah tentang seorang murid yang membenci gurunya. Situasi ini tentu memantik tanya: Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah hanya karena si murid yang tidak hormat, atau ada yang lebih dalam?
Sebagai guru, kita perlu kembali pada prinsip dasar: kita berkewajiban untuk mengenal setiap murid. Sayangnya, prinsip ini terkadang terkikis oleh tuntutan administratif, beban kurikulum, atau bahkan ego kita sebagai pendidik. Padahal, pengenalan yang tulus terhadap murid menjadi jembatan utama dalam menciptakan proses belajar yang manusiawi.
Mengapa Murid Bisa Membenci Guru?
Salah satu penyebab utama munculnya rasa benci dari murid kepada guru adalah mistreatment ... perlakuan yang dirasakan tidak adil, menyakitkan, atau merendahkan harga diri. Ambil contoh kasus yang sering terjadi: seorang murid tidak menyukai suatu mata pelajaran, lalu ketika mendapatkan nilai rendah, ia malah dicap “bodoh”.
Dalam situasi ini, siapa yang sebenarnya bermasalah? Murid yang kesulitan memahami materi, atau guru yang gagal memahami cara belajar murid?
Jika kita mau jujur, sikap menghakimi seperti itu sering kali lahir dari ketidaksabaran dan kurangnya empati. Ketika seorang murid sudah tidak suka pada mata pelajaran tertentu, justru itulah saatnya guru hadir sebagai penuntun, bukan sebagai hakim. Sudahkah kita menanyakan: Kenapa dia tidak suka pelajaran ini? Apa yang membuatnya kesulitan? Apakah ada dukungan dari orang tuanya di rumah?
Saatnya Mengubah Pendekatan
Mengajar bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tapi membangun hubungan. Alih-alih menghakimi, guru harus lebih banyak mendengar, merangkul, dan memahami. Ada beberapa pendekatan sederhana namun bermakna yang bisa kita lakukan:
- Berelasi secara personal. Sempatkan waktu untuk berbincang dengan murid secara individu. Duduk bersamanya di kantin, ajak diskusi ringan di luar jam pelajaran. Tanyakan tentang hobinya, keluarganya, atau sekadar bagaimana perasaannya hari itu.
- Apresiasi sekecil apapun kelebihannya. Semua murid punya kelebihan, walaupun tidak selalu dalam bidang akademik. Bisa jadi ia pandai menggambar, menari, atau bersikap sopan. Pujian yang tulus mampu menghangatkan hubungan yang renggang.
- Berhenti cepat menghakimi. Tidak semua nilai rendah adalah bukti kemalasan. Bisa jadi ada masalah di rumah, tekanan psikologis, atau cara belajar yang tidak sesuai. Jadilah pendengar yang sabar.
- Kenali latar belakang keluarganya. Terkadang, apa yang kita anggap “sikap buruk” hanyalah cerminan dari beban hidup yang ia bawa dari rumah. Pemahaman terhadap konteks keluarga akan membantu kita bersikap lebih bijak.
Hati Murid, Bukan Sekadar Angka
Ingatlah bahwa murid bukanlah robot yang hanya dinilai dari angka. Mereka adalah manusia dengan emosi, pengalaman, dan luka yang bisa jadi belum mereka pahami sendiri. Relasi yang rusak karena perlakuan tidak adil akan sulit diperbaiki. Seperti barang pecah belah, hati murid pun membutuhkan peringatan: Handle with care.
Kita, para guru, harus lebih lambat dalam menghakimi, namun cepat dalam mendengarkan. Karena ketika murid merasa dimengerti, mereka tidak hanya akan terbuka, tetapi juga mulai mempercayai kita sebagai guru dan sebagai manusia.
Penutup
Mungkin kita tidak bisa menjadi guru yang disukai semua murid. Namun, kita bisa berusaha menjadi guru yang dikenal dan dimengerti oleh setiap murid. Karena dalam pendidikan, hubungan yang kuat lebih berpengaruh daripada sekadar nilai sempurna di rapor.