Dalam kehidupan sehari-hari, manusia cenderung ingin dihargai dan diakui. Salah satu bentuknya adalah menceritakan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan. Namun, ada sebuah prinsip bijak dalam pergaulan: “Tidak usah banyak bercerita tentang kebaikan diri. Karena yang cinta tidak memerlukan itu, dan yang benci tidak akan pernah percaya.” Ungkapan ini sederhana, tetapi memiliki makna yang mendalam, terutama dalam konteks kehidupan di lingkungan sekolah. Baik dari sudut pandang murid maupun guru, nilai ini dapat menjadi fondasi dalam membangun hubungan sosial yang sehat, penuh hormat, dan beretika.
Di lingkungan sekolah, kebaikan seharusnya menjadi bagian dari keseharian, bukan bahan untuk dipamerkan. Seorang murid yang rajin membantu teman, sopan kepada guru, atau disiplin dalam belajar, tak perlu sibuk menceritakan apa yang telah ia lakukan. Kebaikan yang nyata akan terlihat tanpa perlu dikemas dalam narasi. Teman-teman yang memiliki hati tulus akan melihat dan menghargainya, bahkan tanpa perlu dijelaskan. Sementara mereka yang sudah terlanjur memiliki prasangka, tidak akan percaya, meskipun kebaikan itu dibungkus dengan kata-kata manis sekalipun.
Demikian pula bagi seorang guru. Keteladanan adalah kunci dalam mendidik. Seorang guru yang sabar, jujur, dan penuh perhatian kepada siswanya tidak perlu mempromosikan dirinya. Justru ketika kebaikan dilakukan secara konsisten dan tanpa pamrih, siswa akan lebih mudah menangkap pesan moralnya. Mereka belajar bukan dari apa yang didengar, tetapi dari apa yang dilihat dan dirasakan. Guru yang terlalu sering mengangkat dirinya sebagai “teladan”, bisa saja kehilangan makna dari keteladanan itu sendiri karena akan terkesan membanggakan diri, bukan menginspirasi.
Kisah-kisah nyata di sekolah seringkali menunjukkan betapa kekuatan diam dalam kebaikan jauh lebih efektif. Misalnya, seorang siswa yang selalu membersihkan kelas tanpa diminta. Awalnya mungkin tidak ada yang peduli. Namun lama-kelamaan, tindakan itu menginspirasi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Begitu pula seorang guru yang setia mendampingi siswa belajar di luar jam pelajaran, tanpa pernah menyebutkannya dalam rapat atau media sosial. Lambat laun, siswa dan rekan guru lainnya menyadari ketulusan itu, dan terbangunlah budaya saling membantu dan menghargai.
Di sinilah letak kekuatan nilai diam dalam kebaikan: ia tidak menggantungkan apresiasi pada pengakuan orang lain. Kebaikan seperti ini tumbuh dari hati yang ikhlas, dan justru karena tidak banyak bicara, ia menjadi lebih jujur dan berpengaruh.
Di lingkungan sekolah, kebaikan seharusnya menjadi bagian dari keseharian, bukan bahan untuk dipamerkan. Seorang murid yang rajin membantu teman, sopan kepada guru, atau disiplin dalam belajar, tak perlu sibuk menceritakan apa yang telah ia lakukan. Kebaikan yang nyata akan terlihat tanpa perlu dikemas dalam narasi. Teman-teman yang memiliki hati tulus akan melihat dan menghargainya, bahkan tanpa perlu dijelaskan. Sementara mereka yang sudah terlanjur memiliki prasangka, tidak akan percaya, meskipun kebaikan itu dibungkus dengan kata-kata manis sekalipun.
Demikian pula bagi seorang guru. Keteladanan adalah kunci dalam mendidik. Seorang guru yang sabar, jujur, dan penuh perhatian kepada siswanya tidak perlu mempromosikan dirinya. Justru ketika kebaikan dilakukan secara konsisten dan tanpa pamrih, siswa akan lebih mudah menangkap pesan moralnya. Mereka belajar bukan dari apa yang didengar, tetapi dari apa yang dilihat dan dirasakan. Guru yang terlalu sering mengangkat dirinya sebagai “teladan”, bisa saja kehilangan makna dari keteladanan itu sendiri karena akan terkesan membanggakan diri, bukan menginspirasi.
Kisah-kisah nyata di sekolah seringkali menunjukkan betapa kekuatan diam dalam kebaikan jauh lebih efektif. Misalnya, seorang siswa yang selalu membersihkan kelas tanpa diminta. Awalnya mungkin tidak ada yang peduli. Namun lama-kelamaan, tindakan itu menginspirasi teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Begitu pula seorang guru yang setia mendampingi siswa belajar di luar jam pelajaran, tanpa pernah menyebutkannya dalam rapat atau media sosial. Lambat laun, siswa dan rekan guru lainnya menyadari ketulusan itu, dan terbangunlah budaya saling membantu dan menghargai.
Di sinilah letak kekuatan nilai diam dalam kebaikan: ia tidak menggantungkan apresiasi pada pengakuan orang lain. Kebaikan seperti ini tumbuh dari hati yang ikhlas, dan justru karena tidak banyak bicara, ia menjadi lebih jujur dan berpengaruh.
Kesimpulan
Dalam dunia pendidikan, kebaikan bukanlah sesuatu yang harus diceritakan, tetapi harus ditunjukkan. Mereka yang mencintai kita tidak perlu diyakinkan, dan mereka yang membenci kita tidak akan bisa diyakinkan. Maka, biarkan tindakan yang berbicara. Sebab, keteladanan bukanlah soal seberapa banyak kita berkata, tetapi seberapa nyata dampak yang kita tinggalkan. Di sekolah, baik sebagai guru maupun murid, mari membangun budaya kebaikan yang tidak riuh oleh pujian, tetapi kuat oleh ketulusan.
Dalam dunia pendidikan, kebaikan bukanlah sesuatu yang harus diceritakan, tetapi harus ditunjukkan. Mereka yang mencintai kita tidak perlu diyakinkan, dan mereka yang membenci kita tidak akan bisa diyakinkan. Maka, biarkan tindakan yang berbicara. Sebab, keteladanan bukanlah soal seberapa banyak kita berkata, tetapi seberapa nyata dampak yang kita tinggalkan. Di sekolah, baik sebagai guru maupun murid, mari membangun budaya kebaikan yang tidak riuh oleh pujian, tetapi kuat oleh ketulusan.