Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

Indonesia dalam Perspektif Siklus Polybius: Antara Demokrasi, Oligarki, dan Ancaman Oklokrasi

Pendahuluan

Konsep siklus pemerintahan (anacyclosis) yang diperkenalkan oleh Polybius (200–118 SM) dalam Histories memberikan kerangka analisis yang relevan untuk membaca dinamika politik kontemporer. Polybius berpendapat bahwa bentuk pemerintahan tidak pernah permanen, melainkan bergerak dalam siklus yang berulang sesuai dengan degradasi moral penguasa dan rakyat (Polybius, Histories VI.9). Dalam konteks Indonesia, konsep ini dapat dipakai untuk menelaah apakah demokrasi yang dianut secara formal masih terjaga kualitasnya atau telah bergeser menuju oligarki bahkan gejala oklokrasi.

Siklus Polybius: Kerangka Teoretis

Polybius menjelaskan bahwa pemerintahan bermula dari monarki yang adil, namun jika kekuasaan diwariskan kepada generasi yang hidup dalam kemewahan tanpa pengalaman penderitaan, maka monarki itu merosot menjadi tirani:

“Of the different kinds of constitutions, that which is universally and primarily the first is monarchy… when successors, unacquainted with civil hardships, begin to turn to insolence and violence, the monarchy degenerates into tyranny.” (Histories VI.9, terj. Paton, 1922).

Terjemahan Indonesia:

“Dari berbagai jenis konstitusi, yang pertama-tama muncul secara universal adalah monarki… ketika para penerus yang tidak mengenal kesulitan hidup berubah menjadi angkuh dan sewenang-wenang, maka monarki pun merosot menjadi tirani.”

Dari titik ini, siklus berlanjut: aristokrasi lahir sebagai reaksi terhadap tirani, lalu merosot menjadi oligarki. Demokrasi muncul sebagai pemerintahan rakyat, tetapi jika rakyat gagal menjaga kebebasan, ia berubah menjadi oklokrasi (mob rule), dan akhirnya masyarakat kembali mencari kepemimpinan tunggal.

Demokrasi Indonesia: Formalitas Konstitusional dan Praktik Oligarki

Indonesia secara normatif adalah negara demokrasi berdasarkan UUD 1945, dengan pemilu reguler, partisipasi rakyat, dan prinsip checks and balances. Namun, dalam praktiknya, banyak gejala oligarki yang menonjol. Hadiz dan Robison (2013) menyebut kondisi ini sebagai “oligarchic capture,” ketika kepentingan ekonomi dan politik elite menguasai arah kebijakan negara.

Contoh konkret dapat dilihat dari fenomena dinasti politik, di mana beberapa keluarga elite politik mampu menempatkan anggota keluarganya di berbagai jabatan strategis melalui jalur elektoral. Selain itu, keterlibatan pengusaha besar dalam pembiayaan politik memperkuat cengkeraman oligarki terhadap proses demokrasi. Tidak jarang, kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal ketimbang kebutuhan rakyat luas.

Media sosial, yang semula diharapkan menjadi ruang deliberasi publik, juga kerap dimanfaatkan sebagai arena politik oleh buzzer. Fenomena buzzer politik menandakan bahwa opini publik tidak selalu terbentuk secara organik, melainkan dikendalikan oleh narasi yang diproduksi elite dengan tujuan tertentu. Hal ini memperlemah kualitas demokrasi karena diskursus publik dipenuhi disinformasi dan polarisasi.

Gejala Oklokrasi dalam Dinamika Politik Indonesia

Polybius mengingatkan bahwa:

“Democracy again deteriorates into savage rule of violence, and thus gives birth once more to monarchy.” (Histories VI.9).

Terjemahan Indonesia:

“Demokrasi pada akhirnya merosot menjadi pemerintahan liar penuh kekerasan, dan dari situlah lahir kembali monarki.”

Gejala menuju oklokrasi di Indonesia mulai terlihat dalam polarisasi pemilu yang semakin tajam. Kontestasi elektoral tidak hanya menjadi arena kompetisi gagasan, tetapi sering bergeser ke konflik identitas dan emosi kolektif. Hal ini memperkuat kecenderungan masyarakat terbelah ke dalam kubu-kubu yang sulit dipertemukan, menciptakan atmosfer demokrasi yang rapuh.

Selain itu, demonstrasi besar-besaran yang muncul dalam menanggapi isu-isu kontroversial, seperti revisi undang-undang, kebijakan lingkungan, atau protes mahasiswa terhadap DPR, mencerminkan bentuk partisipasi politik rakyat. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, mobilisasi massa semacam ini berisiko menimbulkan kekacauan (mob rule), terutama ketika tuntutan disertai kekerasan atau manipulasi isu.

Dengan demikian, demokrasi Indonesia tidak hanya menghadapi dominasi oligarki, tetapi juga rawan jatuh dalam oklokrasi, sebagaimana telah digambarkan oleh Polybius lebih dari dua ribu tahun yang lalu.

Kesimpulan

Dalam kerangka siklus Polybius, Indonesia saat ini berada dalam posisi formal sebagai demokrasi, namun praktik oligarki sangat dominan dan gejala oklokrasi mulai terlihat. Dinasti politik, polarisasi pemilu, demonstrasi besar, serta dominasi buzzer di ruang publik menjadi bukti konkret bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi tantangan serius.

Penguatan demokrasi substantif di Indonesia hanya mungkin tercapai dengan membatasi dominasi oligarki, memperkuat institusi demokrasi, serta meningkatkan literasi politik masyarakat. Tanpa upaya tersebut, siklus Polybius akan berulang: demokrasi merosot menjadi oklokrasi, lalu melahirkan kembali bentuk pemerintahan yang lebih otoriter.


Daftar Pustaka

  • Hadiz, V. R., & Robison, R. (2013). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.

  • McNeill, W. H. (1992). The Rise of the West: A History of the Human Community. University of Chicago Press.

  • Meier, C. (2010). A Culture of Freedom: Ancient Greece and the Origins of Europe. Oxford University Press.

  • Polybius. (1922). The Histories, Volume III: Books 5–8 (Translated by W. R. Paton). Loeb Classical Library, Harvard University Press.

Share:

Jangan Jadikan Alasan sebagai Topeng Kemalasan

Setiap orang pasti pernah merasa lelah, enggan, atau bahkan kehilangan semangat untuk melakukan sesuatu. Namun, sering kali rasa malas itu tidak diakui secara jujur. Kita menutupinya dengan berbagai alasan: "Nanti saja," "Saya belum siap," atau "Keadaannya tidak mendukung." Padahal, alasan hanyalah topeng yang kita gunakan untuk membenarkan kemalasan.

Kemalasan yang dibiarkan akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang buruk lambat laun menggerogoti potensi diri. Seseorang yang selalu mencari alasan tidak akan pernah maju, karena waktunya habis untuk menunda dan membenarkan sikapnya. Hidup ini bukan tentang mencari pembenaran, melainkan tentang mencari jalan keluar.

Jika kita ingin meraih keberhasilan, langkah pertama adalah berani jujur pada diri sendiri: apakah saya benar-benar tidak mampu, atau sebenarnya saya hanya malas? Ketika kita mampu membedakan keduanya, maka solusi pun akan lebih mudah ditemukan. Bukan lagi bersembunyi di balik alasan, melainkan bergerak mencari cara agar tujuan tercapai.

Mulailah dari hal kecil. Paksa diri untuk konsisten melakukan tugas yang sederhana. Disiplin kecil yang dilatih setiap hari akan membentuk kebiasaan baik. Dan ketika kebiasaan baik itu tumbuh, kita tidak lagi membutuhkan alasan untuk menunda, melainkan alasan untuk terus maju.

Hidup ini singkat. Jangan habiskan waktu dengan dalih yang mengekang diri sendiri. Katakan pada diri kita: “Saya bukan orang yang mencari alasan, saya adalah orang yang mencari jalan.” Dengan begitu, energi positif akan tumbuh, motivasi akan menguat, dan kesuksesan pun semakin dekat.

Share:

Website Translator

Visitors