Waktu adalah pelukis ulung. Ia menggambar jejak-jejak langkah manusia dengan guratan halus yang tak kasat mata. Ada kalanya, dalam setiap perjalanan hidup, seseorang berdiri di titik terang, di mana kepercayaan adalah tongkat estafet yang diberikan tanpa ragu. Sebuah tugas, amanah, bahkan tanggung jawab yang besar pernah diletakkan di pundaknya, dan ia melangkah dengan yakin, mengemban semua itu tanpa pernah bertanya: mengapa aku?
Namun, waktu tak selalu menjadi kawan yang adil. Seiring berjalannya hari, detak yang dahulu begitu kencang kini meredup, berayun pelan di ujung senja. Kepercayaan yang dulu bagaikan udara kini terasa seperti uap yang menghilang dalam genggaman. Tugas-tugas yang dahulu datang padanya seperti aliran sungai deras, kini hanya menjelma tetesan yang jatuh perlahan, bahkan nyaris tak terdengar.
Ia tak pernah bertanya di mana salahnya. Barangkali, di antara sorotan mata yang beralih mencari sosok lain, ia menjadi bayangan samar yang berjalan di belakang. Bukan tak ingin bersuara, bukan pula tak ingin kembali memegang tongkat kepercayaan itu. Hanya saja, dalam diamnya, ia belajar bahwa setiap orang punya masa untuk dipercaya, dan setiap masa pula memiliki akhir yang tak bisa ditebak kapan datangnya.
Mungkin kepercayaan itu bukan hilang, hanya berpindah. Barangkali, ia adalah kapal yang kini berlabuh di dermaga lain, sementara ia sendiri masih berdiri di tepi, menyaksikan kapal itu menjauh dari pandangannya. Dan di titik ini, ia merenung. Bahwa yang ia butuhkan bukanlah sekadar jabatan atau amanah baru. Bukan pula pengakuan dari mereka yang melangkah mendahuluinya. Tetapi keyakinan bahwa dirinya tetap bernilai, bahkan ketika tangan-tangan tak lagi terulur kepadanya. Karena kepercayaan yang paling penting adalah yang ia berikan pada dirinya sendiri.
Ia mulai melihat kembali perjalanan hidupnya, bagaimana setiap tugas dan amanah yang dulu ia emban telah memberinya bekal yang tak ternilai. Kepercayaan yang ia genggam di masa lalu bukan sekadar hadiah, melainkan pelajaran tentang arti tanggung jawab, ketekunan, dan pengabdian. Tak ada amanah yang sia-sia; semua itu membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih matang dan kuat.
Dari sini, ia sadar bahwa kepercayaan bukanlah sesuatu yang selalu dapat dimiliki selamanya. Ia adalah sebuah siklus yang datang dan pergi, seperti ombak yang tak pernah lelah menyapa pantai. Kadang kita berdiri di puncaknya, kadang pula kita tenggelam di dalamnya. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita tetap berdiri tegak, meski ombak itu menjauh.
Di tengah perenungannya, ia menemukan jawaban. Bahwa tak lagi dipercaya bukan berarti tak lagi berarti. Bahwa di balik kesunyian ini, ada ruang untuk bertumbuh, untuk menemukan kembali dirinya yang mungkin sempat hilang dalam keramaian. Kepercayaan orang lain bisa datang dan pergi, tetapi kepercayaan pada dirinya sendiri harus tetap berakar kuat.
Dan pada akhirnya, ia berjalan dengan langkah yang lebih ringan. Memandang ke depan, ia tahu bahwa hidup bukan hanya soal diberi peran, melainkan bagaimana memainkan peran itu sebaik mungkin, bahkan ketika tirai panggung mulai tertutup. Karena pada akhirnya, hidup yang berharga adalah hidup yang dijalani dengan kepercayaan penuh pada diri sendiri.
Ia bukan lagi sekadar bayangan. Kini, ia adalah sosok utuh yang siap melangkah, meski tanpa sorotan lampu panggung. Karena di dalam dirinya, ia telah menemukan cahaya yang tak akan pernah padam.