Blog Opini Kang Guru adalah ruang berbagi opini cerdas dan inspiratif dari sudut pandang seorang pendidik. Blog ini hadir dengan gaya santai namun penuh makna.

DPR, Tragedi Affan Kurniawan, dan Gelombang Solidaritas

Pendahuluan

Gelombang demonstrasi besar yang meluas akhir Agustus 2025 tidak lahir tiba-tiba. Tragedi tewasnya Affan Kurniawan, driver ojek online yang dilindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta, memang menjadi pemicu emosional. Namun akar persoalannya jauh lebih dalam: kekecewaan rakyat terhadap DPR dan elit politik yang dinilai semakin jauh dari realitas kehidupan masyarakat.

DPR dan Ketidakpuasan Rakyat

Keputusan DPR menaikkan tunjangan di tengah kondisi rakyat yang serba sulit menjadi sorotan utama. Publik melihat langkah itu sebagai simbol ketidakpekaan elit terhadap penderitaan warga.

Ketidakpuasan semakin memuncak ketika beberapa anggota DPR mengeluarkan pernyataan yang dianggap merendahkan rakyat, seolah kritik masyarakat hanyalah ocehan yang tidak perlu didengar. Dari sini muncul kesan bahwa DPR lebih sibuk mengurus dirinya sendiri daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.

Lahan Kering Kekecewaan

Rakyat sudah lama hidup dalam tekanan: harga kebutuhan pokok yang naik, lapangan kerja yang sempit, hingga sistem kerja kontrak dan outsourcing yang tidak adil. Pekerja gig economy seperti driver ojol juga sering bekerja tanpa jaminan keamanan maupun perlindungan sosial.

Dalam situasi itu, kebijakan DPR terasa seperti menuang bensin ke bara api. Kekecewaan publik menumpuk dan menciptakan kondisi yang siap meledak kapan saja.

Tragedi Affan: Percikan yang Menyalakan Api

Affan Kurniawan bukanlah demonstran. Ia hanya seorang ojol yang sedang bekerja mengantarkan pesanan. Namun, ia justru menjadi korban akibat kendaraan taktis Brimob yang melintas di kawasan demo.

Bagi publik, tragedi Affan adalah simbol nyata ketidakadilan: rakyat kecil yang berjuang mencari nafkah justru tewas di tengah konflik yang bukan ia ciptakan. Kisahnya menembus sekat-sekat kelompok—ojol, mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil merasa bahwa tragedi ini bisa menimpa siapa saja.

Solidaritas yang Meluas

Tak butuh waktu lama, aksi solidaritas merebak di berbagai kota. Komunitas ojol, mahasiswa, buruh, hingga warga sipil turun ke jalan. Tuntutan yang muncul pun berkembang:

  • Keadilan untuk Affan, proses hukum yang transparan.

  • Penghentian kekerasan aparat dalam menangani aksi massa.

  • Reformasi DPR, baik dari sisi kebijakan maupun sikap empati terhadap rakyat.

Gelombang protes ini bukan lagi sekadar soal ketenagakerjaan, melainkan juga soal moralitas politik dan legitimasi wakil rakyat.

Rantai Sebab-Akibat (Causal Chain)

Untuk memahami akar masalah, rantai sebab-akibatnya bisa digambarkan sebagai berikut:

  1. DPR menaikkan tunjangan dan mengeluarkan ucapan merendahkan rakyat

  2. Rakyat makin kecewa di tengah kesulitan ekonomi

  3. Tragedi Affan Kurniawan jadi pemicu emosional

  4. Solidaritas meluas: ojol, mahasiswa, buruh, warga sipil

  5. Aksi nasional dengan tuntutan keadilan dan reformasi politik


Jalan Keluar: Apa yang Harus Dilakukan?

Demonstrasi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi DPR dan pemerintah. Agar tidak terulang, beberapa langkah penting bisa ditempuh:

  1. Transparansi hukum – proses penyelidikan tragedi Affan harus terbuka dan adil.

  2. Reformasi DPR – hentikan kebijakan elitis, bangun komunikasi yang lebih empatik.

  3. Perlindungan pekerja rentan – khususnya ojol dan pekerja gig economy, dengan jaminan sosial dan perlindungan kerja.

  4. Evaluasi pengamanan aksi – aparat perlu mengedepankan pendekatan dialogis, bukan represif.

  5. Dialog sosial yang inklusif – pemerintah dan DPR wajib membuka ruang dialog dengan masyarakat agar kepercayaan publik dapat dipulihkan.


Penutup

Tragedi Affan Kurniawan telah menyatukan berbagai kelompok masyarakat dalam satu suara: rakyat menuntut keadilan, empati, dan keberpihakan dari negara. Aksi solidaritas ini adalah tanda bahwa ketidakadilan sosial dan jarak politik sudah mencapai titik rawan.

Jika DPR dan pemerintah tidak segera merespons dengan langkah konkret, bukan tidak mungkin kemarahan rakyat akan terus berulang—menjadi gelombang yang lebih besar di masa depan.

Share:

Tertindas dan Dilindas

Tanggal 28 Agustus 2025 menjadi salah satu catatan kelam lagi dalam sejarah demokrasi Indonesia. Di tengah hiruk pikuk demonstrasi di sekitar DPR, sebuah insiden memilukan merenggut nyawa Affan Kurniawan, seorang anak muda berusia 21 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai driver ojek online. Ia bukan orator di panggung aksi, bukan pula provokator kerusuhan. Ia hanya sedang menjemput rezeki untuk keluarganya. Namun, takdir tragis mempertemukannya dengan kendaraan taktis Brimob yang melindas tubuhnya hingga meregang nyawa.

Ironi itu mengguncang nurani publik. Betapa tidak, seorang rakyat kecil yang sudah lama tertindas oleh kerasnya hidup di kota besar, justru dilindas oleh institusi negara yang seharusnya melindungi. Peristiwa ini melahirkan pertanyaan mendasar: masihkah aparat bersenjata benar-benar hadir sebagai pengayom rakyat, ataukah berubah menjadi kekuatan yang menakutkan rakyatnya sendiri?

Insiden Affan tidak bisa hanya dilihat sebagai kecelakaan lalu lintas biasa. Ia merupakan potret relasi kuasa yang timpang antara rakyat dan negara. Di satu sisi, negara kerap menuntut kesetiaan, kepatuhan, bahkan pengorbanan warganya. Namun di sisi lain, jaminan perlindungan dan penghargaan atas martabat manusia masih sering terabaikan. Kematian Affan adalah alarm keras bahwa kita sedang berada di tepi jurang krisis kemanusiaan.

Respon cepat kepolisian dan permintaan maaf dari Kapolri maupun Kapolda Metro Jaya patut diapresiasi. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Tuntutan publik jelas: transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Tidak boleh ada pembiaran, tidak boleh ada impunitas. Setiap nyawa yang hilang harus dipertanggungjawabkan, bukan sekadar dijawab dengan ucapan belasungkawa.

Dari sisi sosial, peristiwa ini menyulut solidaritas. Warganet, mahasiswa, hingga masyarakat sipil bersatu menyuarakan kemarahan. Mereka bukan hanya menuntut keadilan bagi Affan, melainkan juga memperjuangkan hak setiap warga untuk merasa aman di negeri sendiri. Affan kini menjadi simbol: simbol perlawanan rakyat kecil terhadap arogansi kekuasaan, simbol jeritan kaum tertindas yang selama ini hanya menjadi angka dalam statistik, namun kini menjadi wajah nyata dari korban ketidakadilan.

Kita mungkin tidak mengenal Affan secara pribadi. Namun, kisahnya menyentuh hati karena ia mewakili jutaan anak muda yang berjuang di jalanan, menantang panas, hujan, dan bahaya demi sesuap nasi. Ketika negara gagal melindungi mereka, maka kita semua harus bertanya: untuk siapa sebenarnya kekuasaan dijalankan?

Sejarah bangsa ini menunjukkan bahwa setiap tragedi selalu melahirkan kesadaran baru. Semoga kematian Affan tidak berhenti sebagai headline berita atau sekadar trending di media sosial. Semoga ia menjadi pengingat bahwa demokrasi tanpa kemanusiaan hanyalah topeng kosong, dan keamanan tanpa perlindungan rakyat hanyalah represi.

Affan mungkin sudah tiada. Namun, namanya akan selalu dikenang sebagai simbol keberanian rakyat kecil menghadapi kerasnya hidup—hingga akhirnya ia tertindas oleh keadaan, dan tragisnya, benar-benar dilindas oleh roda kekuasaan.

Share:

Ketika Demokrasi Tergelincir: Dari Harapan Rakyat Menuju Kepentingan Elite

Indonesia dibangun di atas cita-cita luhur: kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Itulah janji demokrasi—memberi rakyat hak menentukan arah bangsa dan menuntut pemimpin menjadi pelayan publik. Namun, dalam praktiknya, demokrasi sering tergelincir menjadi arena perebutan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Hari ini, banyak rakyat menyaksikan fenomena yang mirip dengan kleptokrasi: pemerintahan yang dikuasai oleh mereka yang lebih sibuk memperkaya diri sendiri daripada mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang seharusnya berorientasi pada pemerataan dan keadilan sosial justru condong kepada kepentingan segelintir elite—demokrasi menjadi panggung transaksional, di mana suara rakyat ditukar dengan janji-janji politik yang mudah dilupakan.

Fenomena ini tidak lagi sekadar teori. Kasus-kasus nyata telah menegaskan bagaimana pejabat publik di Indonesia menyalahgunakan wewenangnya. Misalnya, pada tahun 2025 mencuat dugaan korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi senilai hampir Rp 9,9 triliun. Padahal, uji coba sebelumnya telah menunjukkan bahwa perangkat tersebut tidak efektif digunakan di lapangan. Skandal serupa juga mengguncang sektor energi, ketika Pertamina dituduh menyalahgunakan subsidi bahan bakar antara Pertalite dan Pertamax, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun. Kedua kasus ini menggambarkan bagaimana kebijakan publik kerap dijadikan ladang bancakan daripada instrumen untuk menyejahterakan rakyat (Wikipedia, 2025, & Wikipedia, 2025).

Di tingkat daerah, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), antara 2010 hingga 2015 setidaknya 183 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Angka tersebut menunjukkan bahwa korupsi di kalangan elite birokrasi bukan hanya persoalan individu, melainkan telah menjadi budaya yang membahayakan demokrasi. Bahkan, Wakil Ketua KPK periode 2011–2015, Busyro Muqoddas, pernah memperingatkan bahwa jika praktik ini terus berlanjut, Indonesia berpotensi bergeser dari demokrasi menuju kleptokrasi—sebuah sistem di mana pejabat publik lebih sibuk mencuri daripada melayani rakyat (ICW, 2015, & Liputan6, 2013).

Di saat rakyat merasakan kian beratnya hidup—harga barang naik, lapangan kerja langka, pelayanan publik tertinggal—beberapa pejabat justru menerima tambahan pendapatan signifikan dari pos tunjangan. Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan bahwa total penerimaan bersih anggota DPR kini mencapai Rp 69–70 juta per bulan, naik dari sebelumnya sekitar Rp 58 juta. Tidak ada kenaikan gaji pokok—yang tetap stabil selama belasan tahun—namun tunjangan, terutama tunjangan perumahan, dinaikkan tajam YouTubetirto.idRadar Jombang.

Salah satu poin yang mencuri perhatian publik adalah tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan, sebagai pengganti rumah dinas yang tidak lagi diberikan sejak Oktober 2024. Menurut penjelasan, tunjangan ini wajar mengingat kondisi rumah dinas yang sudah tidak ekonomis dan penyesuaian dengan harga sewa di sekitar Senayan—Jakarta Pusat tirto.iddetiknewsRadar Jombang.

Meski demikian, detail mengenai tunjangan lain sempat menimbulkan kontroversi. Pernyataan Adies bahwa tunjangan beras naik dari Rp 10 juta ke Rp 12 juta, dan tunjangan bensin naik dari Rp 4–5 juta ke sekitar Rp 7 juta, sempat meresahkan publik. Namun kemudian ia meluruskan bahwa data tersebut keliru—sebelumnya disebut, tunjangan beras hanya sekitar Rp 200 ribu per bulan dan tidak berubah sejak 2010, maupun tunjangan bensin tetap di kisaran Rp 3 juta kumparankontan.co.id.

Kenaikan tunjangan perumahan serta sejumlah data yang simpang siur mempertegas jarak antara harapan rakyat dan realitas elit. Ketika fuji pengabdian publik tergeser oleh kalkulasi tunjangan, rakyat menatap jauh ke depan dengan frustrasi—sedangkan kebijakan semestinya mengutamakan kesejahteraan kolektif, bukan keuntungan individu.

Namun, harapan belum padam. Sejarah membuktikan, ketika rakyat menyadari kekuatannya, perubahan bisa terjadi. Demokrasi harus direbut kembali dari tangan segelintir elite menuju kembali ke pangkuan rakyat. Caranya bukan dengan mobokrasi—pemerintahan oleh kerumunan tanpa aturan—tetapi melalui kesadaran politik, partisipasi yang cerdas, dan penguatan lembaga hukum yang berintegritas.

Sebagaimana Abraham Lincoln pernah menegaskan, “Democracy is government of the people, by the people, for the people.” Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati tidak boleh melenceng dari hakikatnya: kekuasaan adalah milik rakyat, bukan segelintir elite yang rakus.

Soekarno juga mengingatkan kita dalam pidatonya, “Politik tidak boleh berdiri di atas kaki yang materialistis, tetapi harus berakar pada moral dan keadilan.” Pesan itu terasa semakin relevan hari ini, ketika politik kerap ditukar dengan uang dan kekuasaan, jauh dari semangat pengabdian.

Selain itu, Nelson Mandela pernah berkata, “Kepemimpinan sejati tidak dinilai dari seberapa besar kekuasaan yang kau genggam, melainkan dari seberapa besar pengaruhmu untuk melayani rakyatmu.” Inilah ukuran sejati pemimpin bangsa: bukan berapa banyak kekayaan yang terkumpul, melainkan seberapa luas jejak kesejahteraan yang ia tinggalkan.

Indonesia membutuhkan pejabat yang menempatkan diri sebagai pelayan, bukan penguasa. Dibutuhkan sistem yang menegakkan hukum tanpa pandang bulu, serta rakyat yang kritis sekaligus berani menagih janji. Demokrasi sejati bukanlah sekadar prosedur pemilu lima tahunan, melainkan keberpihakan nyata pada kesejahteraan rakyat.

Jika hal ini tidak segera dibenahi, demokrasi hanya akan menjadi nama indah tanpa jiwa, sekadar topeng yang menutupi wajah oligarki. Namun, jika rakyat bersatu, sadar, dan terus berjuang, masih ada harapan bahwa cita-cita awal bangsa ini—keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—bukan sekadar utopia, melainkan kenyataan.


Daftar Pustaka

  • Lincoln, A. (1863). The Gettysburg Address.
  • Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom. Little, Brown and Company.
  • Soekarno. (1961). Pidato Lahirnya Manipol USDEK.
  • Wikipedia. (2025). Chromebook procurement scandal (Indonesia).
  • Wikipedia. (2025). 2025 Pertamina corruption case.
  • Wikipedia. (2025). Sunjaya Purwadisastra.
  • Wikipedia. (2025). Ade Yasin.
  • ICW. (2015). Budaya Kleptokrasi Kepala Daerah. antikorupsi.org.
  • iNews, (2025, 20 Agustus). Pimpinan DPR Luruskan Isu Kenaikan Gaji Anggota hingga Tunjangan Perumahan.
  • Tirto.id, (2025). Adies Kadir Anggap Tunjangan DPR Naik karena Dikasihani Menkeu.
  • Radar Jombang / JwaPos, (2025). Makin Sejahtera! Tunjangan Anggota DPR 2025 Naik, Segini Nomimalnya Per Bulan.
  • Detik.com, (2025). Pimpinan DPR: Tak Ada Kenaikan Gaji Anggota, Hanya Tunjangan Perumahan.
  • TVOne, (2025). Penyebab Tunjangan Beras Anggota DPR Naik Jadi Rp12 Juta Per Bulan: Harga Naik.
  • Detik.com, (2025). Klarifikasi Kenaikan Tunjangan DPR, Adies Kadir: Ini Data Terbarunya.
Share:

Tan Malaka: Pemikir yang Gugur di Negeri yang Diperjuangkannya

Awal dari Sebuah Perjalanan

Di Pandan Gadang, Sumatera Barat, 2 Juni 1897, lahirlah seorang anak yang kelak menjadi salah satu pemikir paling berani dan visioner di tanah air: Tan Malaka. Latar Minangkabau yang kental dengan tradisi berdiskusi dan merantau membentuk kepribadiannya sejak dini.

Ia menempuh pendidikan di Kweekschool Bukittinggi, lalu mendapat kesempatan belajar di Rijkskweekschool Haarlem, Belanda. Di negeri itu, ia menyadari bahwa pendidikan sejati bukanlah soal menghafal, melainkan memahami. “Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin,” kelak ia tulis dalam karya monumentalnya, Madilog.

Madilog: Senjata yang Tak Bisa Dirampas

Pada masa pendudukan Jepang, ketika senjata api sulit didapat, Tan Malaka justru mengasah senjata yang tak bisa dirampas: akal budi. Ia menulis Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, Logika—sebuah panduan berpikir rasional untuk membebaskan bangsa dari takhayul dan pola pikir feodal.

“Ingatlah! … disinilah dikerangkakan arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya dialektika, serta arti dan daerahnya Logika.” (Madilog)

Bagi Tan Malaka, kemerdekaan sejati tidak hanya diukur dari hilangnya kekuasaan kolonial, tetapi dari bebasnya pikiran bangsa.

Pejuang Kemerdekaan Seratus Persen

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan, sebuah aliansi politik yang menuntut kemerdekaan seratus persen tanpa kompromi dengan Belanda. Sikapnya tegas, bahkan berseberangan dengan strategi diplomasi yang ditempuh pemerintah kala itu.

Perbedaan pandangan inilah yang membuatnya berulang kali dicurigai, dipenjara, bahkan dibungkam. Namun ia tak pernah menyerah. Ia tetap bergerilya di medan Jawa Timur, memimpin rakyat yang percaya padanya.

Surat Terakhir: Harapan di Tengah Badai

Dalam sebuah surat bertanggal 5 Januari 1921 kepada sahabatnya, Dick Van Wijngaarden, Tan Malaka menulis:

“Pada saat kau terima surat ini, mungkin sekali aku sudah lama ada di Medan atau Jawa… Aku mencoba akan menjadi manusia yang patut hidup pada zaman ini.”

Kata-kata ini memancarkan kerendahan hati seorang pejuang, yang meskipun diburu, tetap menatap masa depan bangsanya.

Eksekusi dalam Sunyi

Februari 1949, di tengah kekacauan Agresi Militer Belanda II, Tan Malaka ditangkap di Selopanggung, Kediri, oleh Batalion Sikatan. Tidak ada pengadilan, tidak ada pembelaan. Saksi mata mengisahkan ia dieksekusi pada 21 Februari 1949 dan jasadnya dikuburkan di sebuah hutan sunyi.

Ironisnya, Tan Malaka gugur bukan di tangan penjajah, tetapi di tangan bangsanya sendiri—di negeri yang ia cintai dan perjuangkan seumur hidupnya.

Suara yang Tak Pernah Padam

Dalam otobiografinya, ia pernah menulis:

“Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada di atas bumi.”

Kini, 80 tahun setelah proklamasi, suara itu masih terdengar. Ia mengajarkan bahwa pemimpin sejati bukan hanya berani mengangkat senjata, tetapi juga berani berpikir melawan arus. Ia mengingatkan kita bahwa pendidikan harus memerdekakan pikiran, dan kepemimpinan harus berpijak pada logika, fakta, dan moralitas.

Epilog

Tan Malaka telah diakui sebagai Pahlawan Nasional pada 1963, tetapi pengakuan itu belum cukup untuk menebus sunyi yang melingkupi akhir hidupnya. Mengingat Tan Malaka pada peringatan 80 tahun kemerdekaan bukan hanya soal mengangkat namanya dari kubur sejarah, tetapi juga memastikan bahwa gagasannya tetap menjadi kompas moral bangsa.

Karena pada akhirnya, seperti yang ia yakini, peluru hanya bisa membungkam tubuh—bukan pikiran.

Daftar Pustaka

  1. Malaka, Tan. Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. Archive Marxists. [Pendahuluan & Bab II dan V]

  2. Surat Tan Malaka kepada Dick Van Wijngaarden, 5 Januari 1921. Historia.ID

  3. Ensiklopedia Kemdikbud. “Materialisme Dialektika dan Logika (MADILOG)”

  4. “Tahun Terakhir Tan Malaka.” Historia.ID

  5. Wikipedia. “Tan Malaka”

Share:

Menghubungkan Pengalaman dan Pemahaman: Penerapan Transfer Learning dalam Pembelajaran Pendidikan Pancasila SMP Kelas IX

Pendahuluan

Pendidikan Pancasila di jenjang SMP tidak hanya bertujuan menanamkan pengetahuan tentang dasar negara, tetapi juga menumbuhkan sikap dan keterampilan yang merefleksikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai hal ini, guru memerlukan pendekatan pembelajaran yang mendorong siswa mengaitkan pengalaman nyata mereka dengan konsep-konsep baru yang dipelajari di kelas. Salah satu pendekatan yang efektif adalah Transfer Learning.

Apa itu Transfer Learning dalam Pendidikan?

Secara umum, transfer learning dalam pendidikan adalah proses memindahkan pengetahuan, keterampilan, atau konsep yang telah dipelajari siswa dalam suatu konteks ke situasi atau permasalahan baru. Tujuannya adalah agar pembelajaran tidak terputus antar topik, tetapi saling berkaitan dan bermanfaat dalam kehidupan nyata.

Dalam praktiknya, transfer learning bisa berbentuk:

  1. Transfer positif – Pengetahuan lama membantu memahami topik baru.

  2. Transfer negatif – Pengetahuan lama justru menghambat pemahaman baru.

  3. Transfer lateral – Penerapan pengetahuan pada konteks dengan tingkat kompleksitas setara.

  4. Transfer vertikal – Penerapan pengetahuan sebagai fondasi bagi konsep yang lebih kompleks.

Contoh Penerapan Transfer Learning pada Pendidikan Pancasila Kelas IX

Topik: Semangat Pancasila dalam Kehidupan Bernegara
Pengalaman yang Ditransfer: Kegiatan OSIS, pramuka, kerja bakti, atau bakti sosial di lingkungan sekolah dan rumah.

Langkah Penerapan:

  1. Aktivasi Pengetahuan Awal
    Guru mengajak siswa menceritakan pengalaman gotong royong atau kegiatan organisasi di sekolah.
    Pertanyaan pemantik: “Apa aturan yang kalian patuhi? Bagaimana kalian menyelesaikan perbedaan pendapat?”

  2. Menghubungkan dengan Konsep Baru
    Guru menunjukkan kesamaan antara nilai kerja sama di sekolah dengan prinsip Persatuan Indonesia dalam Pancasila.

  3. Analogi Sistem
    Aturan panitia kegiatan dianalogikan dengan UUD 1945 sebagai landasan hukum negara.

  4. Aplikasi pada Isu Aktual
    Siswa menganalisis kasus toleransi antarumat beragama di Indonesia, menggunakan pengalaman kerja sama di sekolah sebagai titik berangkat.

  5. Refleksi
    Siswa menulis esai singkat: “Jika kita bisa menjaga persatuan di sekolah, bagaimana kita melakukannya di tingkat negara?”

Hasil yang Diharapkan:

  • Kognitif: Pemahaman bahwa Pancasila bukan sekadar teori, tetapi pedoman hidup yang sudah mereka praktikkan.

  • Afektif: Tumbuhnya rasa memiliki dan kebanggaan terhadap nilai-nilai Pancasila.

  • Psikomotor: Keterampilan musyawarah, gotong royong, dan menyelesaikan konflik secara damai.

Perbandingan Transfer Learning dan Deep Learning dalam Pendidikan Pancasila

AspekTransfer LearningDeep Learning
FokusMengaitkan pengetahuan lama dengan konteks baruMenggali topik secara mendalam dan menyeluruh
Titik AwalPengetahuan atau pengalaman siswa yang sudah adaEksplorasi topik dari berbagai sudut pandang
HasilSiswa mampu menerapkan pengetahuan pada situasi baruSiswa memiliki pemahaman konseptual yang kokoh dan terintegrasi
ContohMenghubungkan pengalaman gotong royong dengan nilai Persatuan IndonesiaMenganalisis keterkaitan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI secara kritis

Memadukan Transfer Learning dan Deep Learning dalam Pembelajaran Pancasila

Penerapan Transfer Learning tidak harus berdiri sendiri; ia dapat dipadukan dengan pendekatan Deep Learning (pembelajaran mendalam) untuk hasil yang lebih optimal. Strateginya adalah:

  1. Mulai dengan Transfer Learning
    Gunakan pengalaman nyata siswa sebagai pintu masuk untuk membangun keterhubungan emosional dan kognitif.

  2. Lanjutkan dengan Deep Learning
    Setelah keterhubungan terbangun, ajak siswa menggali topik secara mendalam melalui diskusi kritis, studi kasus, dan proyek berbasis masalah.

  3. Integrasikan Lintas Disiplin
    Misalnya, ketika membahas demokrasi dalam Pancasila, libatkan konsep dari IPS (sejarah demokrasi) dan Bahasa Indonesia (keterampilan berargumentasi).

  4. Akhiri dengan Refleksi dan Produk Nyata
    Siswa membuat proyek kampanye digital bertema “Semangat Pancasila di Era Modern” sebagai hasil sintesis dari pengalaman lama dan pemahaman mendalam.

Penutup

Pendekatan Transfer Learning dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila memungkinkan siswa menghubungkan teori dengan praktik nyata yang mereka alami. Saat dipadukan dengan Deep Learning, pembelajaran menjadi tidak hanya relevan tetapi juga mendalam, membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, dan berkontribusi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi guru, kombinasi ini adalah strategi yang efektif untuk menjadikan Pendidikan Pancasila lebih bermakna, kontekstual, dan berdampak jangka panjang.

Share:

Kebebasan yang Dibungkam: Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia

Delapan puluh tahun sudah bendera merah putih berkibar di langit Nusantara. Delapan puluh tahun pula Indonesia meneguhkan diri sebagai negara merdeka, berdaulat, dan berlandaskan Pancasila. Namun, di balik perayaan penuh gegap gempita, terbersit satu pertanyaan yang menggelitik nurani: apakah kebebasan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata para pendiri bangsa itu benar-benar telah kita jaga, atau justru perlahan kita bungkam sendiri?

Kemerdekaan: Anugerah yang Diperjuangkan, Bukan Diberikan

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukanlah hadiah dari penjajah, melainkan hasil perjuangan panjang para pahlawan yang mengorbankan nyawa. Mereka memahami bahwa kebebasan bukan sekadar lepas dari rantai fisik, tetapi juga pembebasan jiwa dari rasa takut, penindasan, dan ketidakadilan. Sayangnya, di usia yang ke-80 ini, kebebasan itu terkadang terancam bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh sesama anak bangsa sendiri.

Kebebasan yang Perlahan Dibatasi

Kebebasan berbicara, berpendapat, dan berekspresi adalah hak konstitusional. Namun, realitas sering kali menunjukkan sisi lain: kritik dibalas hujatan, pendapat dibungkam dengan stigma, dan suara minoritas tenggelam oleh arus mayoritas. Ironisnya, pembungkaman ini kerap dibungkus rapi dengan dalih menjaga ketertiban, padahal justru mengekang daya kritis dan keberagaman berpikir yang menjadi denyut nadi demokrasi.

Ancaman dari Dalam: Otoritarianisme yang Berubah Wajah

Jika dahulu penjajahan datang dengan seragam militer asing, kini ancamannya lebih halus dan berwajah lokal. Bentuknya bisa berupa korupsi yang menggerogoti kepercayaan publik, monopoli informasi yang memelintir fakta, atau regulasi yang disusun demi kepentingan segelintir pihak. Semua itu secara perlahan meredam kebebasan masyarakat untuk mendapatkan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.

Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Namun, kebebasan tidak berarti kebebasan tanpa batas. Seperti layaknya udara yang kita hirup, kebebasan harus dijaga kemurniannya. Ia tidak boleh tercemar oleh ujaran kebencian, fitnah, atau hasutan yang merusak persatuan. Oleh karena itu, kebebasan harus berjalan beriringan dengan tanggung jawab moral, kesadaran hukum, dan etika kebangsaan.

Refleksi di Usia ke-80

Tahun 2025 ini, ketika kita merayakan 80 tahun kemerdekaan, seharusnya kita bertanya: sudahkah kita merdeka sepenuhnya? Atau, jangan-jangan kita masih terjebak dalam penjara yang kita ciptakan sendiri—penjara yang dibangun dari intoleransi, ketidakadilan, dan ketakutan untuk bersuara?
Kebebasan yang dibungkam bukan hanya tragedi politik, melainkan juga tragedi peradaban. Ia menandakan bahwa kita melupakan esensi kemerdekaan: memberi ruang bagi semua warga negara untuk hidup setara, bermartabat, dan bebas mengungkapkan pikirannya.

Menjaga Api Kemerdekaan

Refleksi ini mengajak kita untuk kembali kepada cita-cita luhur para pendiri bangsa: “Merdeka dalam pikiran, merdeka dalam hati, merdeka dalam bertindak demi kebaikan bersama.” Menjaga kebebasan berarti berani melawan ketidakadilan, sekaligus bijak dalam menggunakan hak yang kita miliki.
Jika kita gagal melakukannya, maka 80 tahun kemerdekaan hanyalah angka, sementara ruh kemerdekaan itu sendiri telah lama mati.

Penutup:
Kebebasan yang Dibungkam adalah peringatan bahwa kemerdekaan bukanlah pencapaian akhir, melainkan perjalanan panjang yang harus terus dijaga. Indonesia akan benar-benar merdeka ketika setiap warganya bebas menyuarakan kebenaran, berpikir kritis, dan hidup tanpa rasa takut, karena di situlah arti sesungguhnya dari kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Share:

Negeri Merdeka, Katanya

Delapan puluh tahun lalu, sebuah proklamasi dibacakan. Dua kalimat sederhana yang menggetarkan hati, disiarkan ke seantero negeri melalui mikrofon sederhana di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur. Kalimat itu tidak hanya memutus rantai penjajahan, tetapi juga mengikat jutaan jiwa pada satu janji: Indonesia merdeka, berdiri di atas kaki sendiri, berdaulat dalam menentukan nasibnya.

Bulan ini, 17 Agustus 2025, kita kembali mengibarkan bendera Merah Putih. Tiang-tiang bendera di halaman sekolah, lapangan desa, hingga gedung pencakar langit berdiri tegak, membawa pesan kebanggaan. Namun di sela-sela dentuman drum marching band, pekikan “Merdeka!”, dan hiruk pikuk lomba tujuh belasan, ada sebuah pertanyaan yang berbisik di hati: Apakah kita benar-benar merdeka?

Kemerdekaan yang Diperjuangkan dan Kemerdekaan yang Dijalani

Generasi 1945 memaknai merdeka sebagai bebas dari kekuasaan asing, bebas dari penindasan kolonial, dan berdiri sebagai bangsa yang berdaulat. Mereka mempertaruhkan nyawa, meninggalkan keluarga, mengorbankan masa depan demi satu cita-cita.

Generasi kini mewarisi kemerdekaan itu tanpa harus merasakan deru peluru atau bau mesiu. Kita lahir di tanah yang sudah diakui dunia, di negeri yang memiliki lagu kebangsaan, bendera, dan konstitusi sendiri. Tapi ironisnya, di tengah kemudahan teknologi dan kebebasan berpendapat, kita terkadang terjebak dalam bentuk penjajahan yang lebih halus—penjajahan pikiran, budaya konsumtif, dan ketergantungan pada pihak luar dalam berbagai aspek kehidupan.

Merdeka di Atas Kertas, Terjajah di Lapangan

Negeri merdeka, katanya.
Kita memiliki hak untuk bersuara, namun tak jarang suara dibungkam oleh ujaran kebencian atau intimidasi sosial. Kita memiliki sumber daya alam melimpah, namun masih banyak anak negeri yang kesulitan mengakses pendidikan dan layanan kesehatan layak. Kita bangga akan keindahan bumi pertiwi, tapi kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan menjadi warisan pahit bagi generasi mendatang.

Merdeka bukan sekadar bendera berkibar setiap Agustus, tetapi kemampuan sebuah bangsa untuk menentukan jalan hidupnya tanpa intervensi yang merugikan. Jika harga beras, teknologi strategis, bahkan informasi publik masih ditentukan oleh kepentingan luar, maka kemerdekaan itu belum sepenuhnya utuh.

Merdeka yang Membebaskan Semua Warganya

Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak, ketika hukum berdiri tegak tanpa pandang bulu, ketika perbedaan bukan alasan untuk saling membenci. Delapan puluh tahun kemerdekaan harusnya menjadi titik di mana kita tidak lagi sibuk memperdebatkan siapa yang paling “pantas” disebut patriot, melainkan bersama-sama membangun negeri tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.

Refleksi untuk Generasi Penerus

80 tahun bukan usia muda bagi sebuah bangsa. Banyak negara yang usianya lebih muda dari kita, tetapi telah melesat menjadi kekuatan besar. Refleksi ini bukan untuk menyesali perjalanan, melainkan untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah abadi yang terjamin selamanya. Ia adalah tugas yang harus dipelihara, dijaga, dan diperjuangkan setiap hari.

Negeri merdeka, katanya — kalimat ini seharusnya bukan nada sarkasme, tetapi sebuah pengingat bahwa kata “katanya” itu harus dihapus melalui tindakan nyata. Saatnya kita memastikan bahwa ketika anak cucu kita memperingati seratus tahun kemerdekaan, mereka tidak lagi mempertanyakan makna kata “merdeka,” karena mereka benar-benar merasakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup

Kemerdekaan adalah amanah. Ia bukan sekadar simbol atau seremoni tahunan. Delapan puluh tahun perjalanan bangsa ini adalah undangan bagi kita semua untuk bertanya: sudahkah kita memerdekakan hati, pikiran, dan kehidupan seluruh rakyat Indonesia? Atau jangan-jangan, kita hanya negeri merdeka… katanya?

Share:

Website Translator

Visitors